TAJUK PAJAK

Perluasan Objek Cukai, Kapan?

Redaksi DDTCNews | Jumat, 26 Februari 2021 | 10:30 WIB
Perluasan Objek Cukai, Kapan?

Ilustrasi. (Foto: vectorstock.com)

SEJAK beberapa tahun lalu, perluasan objek cukai atau barang kena cukai (BKC) terus menjadi wacana di bidang kebijakan fiskal. Namun, setiap kali hendak diterapkan, setiap kali pula muncul resistensi dari sebagian kalangan. Hasilnya, sejauh ini rencana tersebut baru sebatas angan-angan.

Dalam rapat kerja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan Komisi XI DPR, Rabu (27/1/2021), usulan tersebut kembali disampaikan. Menkeu meminta dukungan kepada DPR agar bisa menyetujui penambahan objek cukai baru tahun ini.

Adapun objek cukai baru yang telah diusulkan adalah karbon, kantong plastik dan minuman berpermanis. "Barangkali nanti DPR bisa mendukung pemerintah mulai mengekspansi basis cukai kita, terutama minuman berpemanis atau yang lain,” katanya.

Baca Juga:
Saatnya Memilih! Anda Pembayar Pajak, Jangan Golput!

Menurut Menkeu, jumlah objek barang kena cukai di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan negara lain. Penambahan objek baru ini diharapkan bisa membantu menambah penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai.

Selain itu, penambahan objek cukai terutama plastik dan karbon juga untuk mendukung lingkungan. “Di banyak negara, barang kena cukai itu bisa mencapai lebih dari 7 bahkan 10 jenis, terutama barang yang dianggap memiliki dampak yang tidak baik ke masyarakat,” tegasnya.

Usul seperti ini pernah disampaikan Menkeu tahun lalu (19/2/2020). Tahun sebelumnya, Menkeu juga menyampaikan hal yang sama (17/6/2019) ke DPR. Begitupun tahun sebelumnya, juga tahun sebelumnya, tahun sebelumnya, dan tahun sebelumnya hingga cukai plastik masuk ke APBN 2017.

Baca Juga:
2023, Waktunya Evaluasi Desain Insentif Pajak

Namun, sampai hari ini semua usulan sejak 6 tahun lalu itu belum menjadi kenyataan. Meski, DPR sudah memberi persetujuannya, termasuk sektor terkait seperti Kementerian Kesehatan untuk cukai minuman berpemanis. Penyebabnya tidak lain adalah resistensi dari kalangan pelaku usaha.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia Adhi S. Lukman mengatakan cukai minuman berpemanis akan menghilangkan pajak Rp700 miliar. Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Fajar Budiono menilai cukai plastik ibarat sakit flu dikasih obat sakit kepala.

Argumentasi pelaku usaha itu mungkin beralasan. Apalagi pada masa resesi seperti ini, cukai tentu menambah beban ekonomi. Namun, argumentasi pemerintah juga tidak salah. Argumentasi ini selaras dengan kajian DDTC Komparasi Objek Cukai secara Global dan Pelajaran bagi Indonesia.

Baca Juga:
Pemda, Manfaatkan Sisa Setahun

Lalu, apa yang harus dilakukan jika kedua pihak bisa dikatakan benar? Mungkin sekarang saatnya pemerintah menemui pelaku usaha. Mereka pada dasarnya adalah warga negara yang berusaha di negeri ini. Mereka pembayar pajak.

Kalau DPR sudah setuju, juga Kementerian Kesehatan, mungkin juga Kementerian Perindustrian, pemerintah bisa bersama-sama menemui pelaku usaha. Memang, menerapkan objek cukai baru tidak pernah menjadi sesuatu yang mudah. Selalu ada tantangan, selalu tak bisa penuh menjelaskan.

Namun, tentu itu bukan sesuatu yang mustahil. Sudah menjadi tugas pemerintah mengatur, dan karena itu memilih prioritas, menetapkan tahapan, setelah mengkajinya secara menyeluruh. Jika pemerintah firm dengan sikap ini, niscaya para pelaku usaha juga firm dengan prioritas yang dipilih.

Baca Juga:
Menyongsong Implementasi Ketentuan Baru Pajak Internasional

Kita tidak ingin melihat tahun depan Menkeu kembali ke DPR dan mengusulkan hal serupa. Kita juga tidak ingin mendengar lagi anggota DPR atau para pelaku usaha mengulang-ulang kalimat atau argumentasi yang kurang lebih sama. Dengan kata lain, kita sudah bosan berwacana.

Sudah saatnya polemik perluasan objek cukai ini disudahi. Segera temui para pelaku usaha, jelaskan tahapan atau cetak birunya. Paparkan manfaat dan untung ruginya. Jelaskan kenapa ini perlu, kenapa ini belum perlu. Buat dialog yang konstruktif dan terbuka. Niscaya pelaku usaha bisa mengerti.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 13 Februari 2024 | 10:05 WIB SURAT DARI KELAPA GADING

Saatnya Memilih! Anda Pembayar Pajak, Jangan Golput!

Jumat, 14 Juli 2023 | 15:35 WIB TAJUK PAJAK

Hari Pajak, Momentum untuk Mendengar Wajib Pajak

Senin, 30 Januari 2023 | 12:00 WIB TAJUK PERPAJAKAN

Reformasi Bea Cukai: Proses Bisnis dan Integritas

Selasa, 10 Januari 2023 | 11:47 WIB TAJUK PAJAK

2023, Waktunya Evaluasi Desain Insentif Pajak

BERITA PILIHAN
Selasa, 19 Maret 2024 | 16:25 WIB IZIN KUASA HUKUM

Ini Aturan Baru Permohonan IKH di Pengadilan Pajak Mulai 12 April 2024

Selasa, 19 Maret 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Ingat! Pengguna Jasa Kepabeanan Bisa Kena Blokir Jika Tidak Lapor SPT

Selasa, 19 Maret 2024 | 15:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Gagal Unduh Formulir e-Form Saat Lapor SPT Tahunan, Coba Cara Ini

Selasa, 19 Maret 2024 | 14:39 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Soal Kenaikan PPN, Sri Mulyani Ikuti Fatsun Politik Pemerintahan Baru

Selasa, 19 Maret 2024 | 14:17 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Soal Kenaikan PPN, DPR Sarankan Tunggu The Fed Turunkan Suku Bunga

Selasa, 19 Maret 2024 | 14:09 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ditanya DPR soal Kenaikan Tarif PPN, Dirjen Pajak: Kami Sedang Kaji

Selasa, 19 Maret 2024 | 13:33 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pajak atas Penyediaan Jaringan Listrik dan Air