PERAN data mikro semakin krusial dalam sistem pajak. Data mikro yang dimaksud mencakup setiap perilaku atau pengambilan keputusan ekonomi suatu individu atau perusahaan. Pendekatan berbasis data tidak hanya dapat digunakan untuk mendeteksi risiko ketidakpatuhan, tapi juga bisa digunakan untuk merumuskan kebijakan pajak sesuai konteks ekonomi masyarakat.
Sebagaimana disampaikan Sean Kennedy dalam OECD Working Paper yang berjudul ‘The Potential of Tax Microdata for Tax Policy’, penggunaan data mikro akan menjamin kredibilitas suatu kebijakan pajak.
Hal ini tidak mengherankan mengingat data menjadi sesuatu yang melimpah dengan berkembang pesatnya teknologi dan digitalisasi. Sayangnya, tanpa kesadaran akan besarnya potensi yang dapat diperoleh, data mikro hanya akan menjadi harta terpendam yang tidak berkontribusi apa-apa.
Kendati saat ini lebih banyak penggunaan data ekonomi makro, para perumus kebijakan pajak di seluruh dunia mulai mengembangkan model ekonomi dan keuangan berbasis data mikro untuk mengevaluasi dan merumuskan kebijakan baru.
Dalam Working Paper yang terbit pada akhir 2019 tersebut dijelaskan bahwa sistem pajak memiliki berbagai tujuan dan belum tentu sejalan satu sama lain. Dengan demikian, kelengkapan data yang didukung dengan pengolahan yang baik akan menjadi sangat penting.
Penulis menggunakan contoh Slovenia dan Irlandia yang mulai menyadari pentingnya sistem pajak untuk disusun berdasarkan karakteristik demografi yang menua. Dengan demikian, pola konsumsi dan kemampuan membayar pajak juga pasti akan berubah. Dalam hal ini, data mikro populasi di kedua negara tersebut mendapat perhatian penting untuk perumusan kebijakan pajak.
Untuk dapat mengoptimalkan penggunaan data mikro, Sean yang merupakan salah satu ekonom OECD tersebut mengupas juga langkah-langkah yang perlu diambil. Salah satu yang penting, menurut Sean, adalah ketersediaan sumber daya manusia berkeahlian riset dan teknologi untuk dapat secara jeli menyambungkan benang merah antara ‘big data’ dan analisis kebijakan pajak.
Penulis secara runut mengungkapkan berbagai risiko kebocoran dan penyalahgunaan data. Intinya, desentralisasi pengumpulan data memang penting, tapi kewenangan penggunaan data tersebut harus tersentralisasi dengan baik.
Working Paper tersebut sayangnya tidak mengupas secara detail bagaimana manajemen data mikro yang baik perlu dibangun. Aspek-aspek yang dikupas masih sebatas untuk meningkatkan kesadaran akan besarnya potensi yang dapat disumbang oleh data mikro.
Bagi negara berkembang, sepertinya harus menggali berbagai literatur lainnya untuk mempelajari strategi manajemen data mikro untuk kepentingan perumusan kebijakan pajak.
Meski demikian, kajian ini dapat menjadi titik mula untuk menyadari besarnya potensi yang dapat diperoleh dari manajemen data mikro yang baik, utamanya dalam konteks perumusan kebijakan pajak yang semakin memperhatikan aspek nonpenerimaan.
Walaupun bukan segalanya, seperti yang diungkap dalam Working Paper ini, data mikro dapat memberikan nilai tambah yang signifikan agar sistem pajak menjadi lebih inklusif dan memperhitungkan keragaman karakteristik individu dan perusahaan.
Buah-buah pemikiran dalam Working Paper ini akan menarik, tidak hanya bagi para pemerhati pajak saja, tapi juga para penggiat teknologi, peneliti ekonomi, dan analis data. Tidak mengherankan, pajak akan semakin diminati oleh kalangan akademisi dan profesional dari berbagai bidang.*