LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK

Pendidikan Pajak dan Kemandirian Ekonomi

Redaksi DDTCNews
Selasa, 23 Januari 2018 | 16.40 WIB
ddtc-loaderPendidikan Pajak dan Kemandirian Ekonomi
Nopriyanto Hady Suhanda,
Politeknik Keuangan Negara STAN - Bintaro

SETELAH berakhirnya periode oil boom pada tahun 1985, di mana sumber penerimaan negara berasal dari sektor minyak dan gas bumi. Kini, pajak menjadi tulang punggung sumber penerimaan negara bagi Indonesia.

Tidak kurang dari 80% postur pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditopang dari penerimaan perpajakan. Pada 2018, target pendapatan negara mencapai Rp1.894,7 triliun. Rp1.618,1 triliun di antaranya berasal dari penerimaan perpajakan dan sisanya berasal dari penerimaan negara bukan pajak.

Besarnya porsi pajak sebagai sumber penerimaan utama APBN tersebut mengindikasikan pentingnya pajak yang diperoleh dari masyarakat bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sudah kewajiban warga negara untuk bahu membahu membangun negeri dengan membayar pajak dengan benar dan tepat.

Kondisi terkini menunjukan Indonesia memiliki basis pajak yang rendah. Sampai dengan April 2017, dari sekitar 262 juta total penduduk Indonesia, wajib pajak yang terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya 36.031.972 (13,75 persen dari total penduduk). Sebanyak 16.599.632 di antaranya wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Pada 2017, sampai dengan 31 Desember, DJP berhasil menghimpun penerimaan perpajakan sebesar Rp1.150,5 triliun dari total target Rp1.283,5 triliun. Jika pemerintah dapat meningkatkan basis wajib pajak, tentu penerimaan negara dan laju pertumbuhan ekonomi dapat meningkat.

Selain itu, salah satu indikator untuk mengukur kepatuhan pajak dari masyarakat di sebuah negara adalah tax-to-GDP ratio atau rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan country report yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF) untuk Indonesia di tahun 2017, rasio pajak terhadap PDB Indonesia saat ini adalah sekitar 12 persen.

Angka ini masih di bawah rata-rata tax-to-GDP ratio di kawasan ASEAN yang mencapai 15,4%. Bahkan, tax-to-GDP ratio di beberapa negara maju seperti Denmark, Belgia, dan Perancis telah mencapai lebih dari 30%. Hal ini menunjukan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat Indonesia untuk membayar pajak.

Rendahnya angka tax-to-GDP ratio bukan sepenuhnya kesalahan dari wajib pajak. Ketidaktahuan dan rendahnya kesadaran akan pentingnya pajak menjadi salah satu faktor utama rendahnya angka kepatuhan pajak di Indonesia.

Tidak banyak masyarakat yang tahu bagaimana pentingnya pajak bagi keberlangsungan negara, terlebih terkait bagaimana mengadministrasikan kewajiban pajaknya. Stigma tentang tidak adanya kontraprestasi yang diperoleh secara langsung saat membayar pajak menyebabkan sebagian masyarakat enggan membayar pajak.

Hal tersebut dapat memicu timbulnya praktik-praktik penghindaran pajak seperti tax avoidance, tax evasion, dan aggressive tax planning yang menjadi isu global perpajakan dewasa ini. Selain itu, sistem self-assessment yang diterapkan di Indonesia menjadi tantangan tersendiri untuk bagaimana mendorong wajib pajak membayar dan melaporkan kewajiban pajaknya dengan benar.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah seperti sosialisasi, penyuluhan, pemberian fasilitas berupa konsultasi, dan berbagai kemudahan untuk meningkatkan basis penerimaan pajak. Program tax amnesty pada 2016 lalu merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk dapat meningkatkan penerimaan pajak.

Walaupun dianggap berhasil dengan dana tebusan yang berhasil terkumpul sebanyak Rp114 triliun, tax amnesty belum dapat secara signifikan meningkatkan angka tax-to-GDP ratio.

PEMAHAMAN DASAR

SOSIALISASI terkait pajak ke sekolah-sekolah oleh DJP selaku otoritas pajak di Indonesia juga menjadi suatu hal penting. Hal ini juga dapat menjadi cara yang efektif untuk membangun pemahaman dasar tentang pajak di kalangan peserta didik.

Pada kenyataannya, DJP telah memiliki program serupa yang bertajuk Pajak Bertutur. Pada 11 Agustus 2017, seluruh kantor pajak mendatangi sekitar 125.000 siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas yang tersebar di seluruh Indonesia untuk memberikan sosialisasi terkait perpajakan.

Pajak Bertutur merupakan program DJP dengan tujuan untuk mencapai program inklusi kesadaran pajak. Program ini merupakan langkah awal yang sangat baik dari DJP untuk menumbuhkan kesadaran pajak sejak dini.

Namun demikian, hal yang cukup disayangkan adalah program ini hanya dilakukan dalam satu hari dalam setahun dan kemungkinan ke depannya juga akan demikian. Untuk itu, perlu ditinjau kembali efektivitas penyelenggaraan program Pajak Bertutur.

Salah satu alternatif solusi yang dapat menjadi jawaban permasalahan tersebut adalah dengan mengenalkan pajak kepada masyarakat sejak dini. Pengetahuan terkait pajak sebaiknya diajarkan di bangku pendidikan dasar, menengah, dan lanjutan. Pendidikan terkait perpajakan harus disampaikan kepada peserta didik secara berkesinambungan mulai dari pengenalan terhadap pajak hingga manfaatnya secara umum dan konseptual.

Secara umum, materi perpajakan dapat dimasukan ke dalam mata pelajaran ilmu sosial dan kewarganegaraan. Dalam kewarganegaraan, membayar pajak dapat diajarkan sebagai salah satu bentuk perwujudan cinta tanah air dan bela negara.

Bangku sekolah dasar adalah tempat terbaik untuk menanamkan nilai terkait bela negara dan kecintaan terhadap negara. Peserta didik dapat diberi pemahaman bahwa membayar pajak adalah wujud kecintaan masyarakat kepada bangsa.

Menginjak bangku sekolah menengah (SMP dan SMA), peserta didik dapat diajarkan terkait manfaat, jenis, dan ilmu pengantar pajak di Indonesia pada pelajaran ilmu sosial. Pada jenjang pendidikan lanjutan di perguruan tinggi, dasar-dasar pengelolaan APBN dapat dijadikan mata kuliah atau program yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa pada tingkat awal.

Untuk mewujudkan hal ini, Kementerian Keuangan dalam hal ini Ditjen Pajak dapat bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dalam penyusunan kurikulum yang sesuai pada setiap tingkatan pendidikan.

Melalui program ini, setiap individu diharapkan mampu menjadi wajib pajak yang taat dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk membayar pajak serta menjadi lebih peduli terhadap pengelolaan keuangan negara.

Oleh karena itu, pajak yang merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam bernegara harus dikenalkan sejak dini. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pajak dan menanamkan pemahaman bahwa membayar pajak adalah bentuk kecintaan terhadap bangsa dan negara.

Melalui program pengenalan pajak sejak dini, Indonesia diharapkan akan memiliki generasi gemilang yang memiliki tingkat kesadaran dan kepatuhan pajak yang tinggi. Pada akhirnya nanti dapat digunakan untuk mendukung Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.