BERITA PAJAK HARI INI

Pembuatan Bupot dan Lapor SPT Masa PPh 21/26 Kini Pakai e-Bupot 21/26

Redaksi DDTCNews | Senin, 22 Januari 2024 | 08:11 WIB
Pembuatan Bupot dan Lapor SPT Masa PPh 21/26 Kini Pakai e-Bupot 21/26

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) baru saja merilis beleid baru yang mengatur tentang bentuk dan tata cara pembuatan bukti potong (bupot) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, serta penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21/26. Aturan baru yang tertuang dalam Perdirjen PER-2/PJ/2024 tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (22/1/2024).

PER-2/PJ/2024 menegaskan bahwa pembuatan bukti potong PPh Pasal 21/26 serta pelaporan SPT Masa PPh 21/26 kini resmi menggunakan aplikasi e-Bupot 21/26. Aplikasi e-Bupot 21/26 ditetapkan sebagai sarana bagi pemotong pajak untuk membuat bupot PPh 21/26 serta SPT Masa PPh 21/26 dalam bentuk dokumen elektronik.

"Bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik dibuat menggunakan aplikasi e-Bupot 21/26 yang telah disediakan oleh DJP," bunyi Pasal 6 ayat (6) PER-2/PJ/2024.

Baca Juga:
Dukung Negara Tetangga Terapkan Pajak Karbon, ADB Beri Masukan

Per hari ini, aplikasi e-Bupot 21/26 juga sudah tersedia di DJP Online. Ada 4 kelompok pemotong pajak yang memiliki kewajiban membuat bukti potong PPh 21/26 dan SPT Masa PPh 21/26 dalam bentuk elektronik.

Pertama, pemotong pajak yang membuat bukti potong PPh Pasal 21 tidak bersifat final atau PPh Pasal 26 dengan jumlah lebih dari 20 dokumen dalam 1 masa pajak.

Kedua, pemotong pajak yang membuat bukti potong PPh Pasal 21 final dengan jumlah lebih dari 20 dokumen dalam 1 masa pajak.

Baca Juga:
WP dengan SPT Lebih Bayar atau Rugi Masuk Prioritas Pemeriksaan DJP

Ketiga, pemotong pajak yang membuat bukti potong PPh Pasal 21 bulanan atau bukti potong PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap atau pensiunan yang menerima pensiun berkala dengan jumlah lebih dari 20 dokumen dalam 1 masa pajak.

Keempat, pemotong pajak yang melakukan penyetoran dengan SPP atau bukti Pbk dengan jumlah lebih dari 20 dokumen dalam 1 masa pajak.

Adapun PER-2/PJ/2024 berlaku sejak masa pajak Januari 2024. Berlakunya PER-2/PJ/2024 sekaligus mencabut PER-14/PJ/2013. Selain topik tentang aturan baru pembuatan bukti potong PPh 21/26, ada pula ulasan tentang kalkulator pajak untuk tarif efektif PPh 21, digantinya DJP Online dengan Taxpayer Portal, hingga munculnya pajak karbon dalam debat keempat capres-cawapres.

Baca Juga:
Catat! Batas Akhir Penyetoran PPh Masa April 2024 Mundur ke 13 Mei

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya:

Bukti Potong PPh 21 Bulanan

Masih menyambung ulasan pemberitaan di atas, PER-2/PJ/2024 menegaskan kembali kewajiban pembuatan bupot bagi pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.

Aturan ini juga mengatur ketentuan tentang bupot PPh Pasal 21 bulanan (formulir 1721-VIII). Formulir ini belum diatur dalam ketentuan terdahulu. Contoh formulir bupot tersebut tercantum dalam Lampiran I huruf A PER-2/PJ/2024.

Merujuk pada Pasal 2 ayat (3), bukti potong PPh Pasal 21 bulanan (formulir 1721-VIII) adalah bukti potong PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap atau pensiunan yang menerima pensiun secara berkala atas penghasilan yang diterima setiap masa pajak selain masa pajak terakhir. (DDTCNews)

Baca Juga:
Pemeriksaan Pajak Bakal Sederhana, Sengketa Lebih Banyak Soal Ini

Kalkulator Tarif Efektif PPh 21

DJP kini menyediakan fitur Kalkulator Pajak untuk menghitung berbagai macam pajak, termasuk PPh Pasal 21 dengan menggunakan tarif efektif rata-rata.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan fitur Kalkulator Pajak dikembangkan untuk memudahkan wajib pajak melakukan penghitungan. Kalkulator ini dirilis setelah DJP melakukan serangkaian tes.

"Fitur Kalkulator Pajak sudah dapat diakses pada situs pajak.go.id," katanya. (DDTCNews)

Baca Juga:
Sengketa PPh Pasal 26 atas Premi Reasuransi Luar Negeri

Modernisasi Pembayaran Pajak

DJP menyebut penerapan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (SIAP) atau coretax administration system (CTAS) akan turut memodernisasi pembayaran pajak.

DJP menjelaskan perkembangan ekonomi digital menjadi tantangan bagi otoritas untuk dapat sejalan dengan perubahan zaman. Peningkatan keandalan sistem perpajakan pun diperlukan untuk menunjang berjalannya proses perpajakan yang lebih terintegrasi, efisien, dan modern.

"Untuk itu, DJP mereformasi sistem inti administrasi perpajakan atau coretax. Peningkatan keandalan dilakukan pada semua lini proses bisnis perpajakan, termasuk pembayaran," jelas DJP dalam video di Youtube DJP. (DDTCNews)

Baca Juga:
Coretax System, WP Bisa Melihat Progres Pemeriksaan secara Real Time

DJP Online Diganti dengan Taxpayer Portal

Masih berkaitan dengan coretax system, DJP resmi memperkenalkan taxpayer account management (TAM) serta manfaat aplikasi tersebut dalam pelaksanaan kewajiban dan hak wajib pajak.

DJP menjelaskan taxpayer account management merupakan suatu proses bisnis pengelolaan informasi perpajakan untuk setiap wajib pajak.

"Taxpayer account management akan memberikan informasi profil, hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak, dan buku besar/riwayat transaksi yang dapat diakses wajib pajak kapan saja dan di mana saja," sebut DJP.

Baca Juga:
Perubahan Skema Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Bukan Pegawai

Sebagai bagian dari implementasi taxpayer account management, DJP Online yang selama ini dipakai oleh wajib pajak akan digantikan dengan taxpayer portal. (DDTCNews)

Isu Pajak Karbon di Debat Cawapres

Pajak karbon muncul dalam berjalannya debat keempat capres-cawapres pada Minggu (22/1/2024) malam.

Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka mengatakan kebijakan pajak karbon bisa menjadi salah satu strategi pemerintah untuk mengarusutamakan pembangunan rendah karbon. Pajak karbon dan carbon capture storage (CCS) juga menjadi salah satu kebijakan dalam mewujudkan net zero emission pada 2060.

Baca Juga:
Coretax DJP: Edukasi, Pemeriksaan, hingga Penegakan Hukum Terintegrasi

Sementara itu, cawapres Mahfud MD memandang Indonesia sejauh ini belum melakukan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Padahal, Presiden Soekarno pada pada 1961-1962 telah menetapkan garis-garis besar haluan semesta.

Di sisi lain, cawapres Muhaimin Iskandar menilai pajak karbon dapat menjadi salah satu instrumen yang penting untuk dipersiapkan untuk mencapai transisi energi. Sayangnya, lanjutnya, komitmen pemerintah saat ini tidak serius.

Dia kemudian menyoroti target energi baru dan terbarukan yang mestinya mencapai 23% pada 2025, tetapi diturunkan menjadi 17%. Selain itu, implementasi pajak karbon juga tertunda dari 2022 menjadi 2025. (Pikiran Rakyat, DDTCNews)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 08 Mei 2024 | 06:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

WP dengan SPT Lebih Bayar atau Rugi Masuk Prioritas Pemeriksaan DJP

Selasa, 07 Mei 2024 | 17:05 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Catat! Batas Akhir Penyetoran PPh Masa April 2024 Mundur ke 13 Mei

Selasa, 07 Mei 2024 | 08:58 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pemeriksaan Pajak Bakal Sederhana, Sengketa Lebih Banyak Soal Ini

BERITA PILIHAN
Rabu, 08 Mei 2024 | 18:30 WIB KAMUS PENERIMAAN NEGARA

Apa Itu Automatic Blocking System?

Rabu, 08 Mei 2024 | 18:00 WIB BEA CUKAI JEMBER

Dapat Laporan Warga, Bea Cukai Gerebek Toko yang Jual Miras Ilegal

Rabu, 08 Mei 2024 | 17:31 WIB KANWIL DJP KEPULAUAN RIAU

Ada Sita Serentak, DJP Amankan Aset Milik Wajib Pajak Rp2 Miliar