Proyeksi OECD dalam Interim Economic Outlook.
JAKARTA, DDTCNews – Ekspansi global kehilangan tenaga lebih cepat dari perkiraan beberapa bulan lalu. Hal ini menjadi proyeksi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Interim Economic Outlook pekan lalu.
OECD memproyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 sebesar 3,3% turun 0,2 poin persentase dibandingkan proyeksinya pada November 2018. Proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk 2020 juga dipangkas 0,1 poin persentase menjadi 3,4%, lebih lambat dari pertumbuhan tahun lalu 3,6%.
Khusus untuk G20, OECD memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2019 sebesar 3,5%. Selain melambat dibandingkan tahun lalu 3,8%, estimasi itu lebih rendah 0,2 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dikeluarkan November 2018. Pertumbuhen ekonomi pada 2020 tetap diproyeksi sebesar 3,7%.
Laurence Boone, Kepala Ekonom OECD mengatakan pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi ini lebih dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di Uni Eropa (UE). Selain pertumbuhan ekonominya mengecewakan, kinerja perdagangan baik di dalam maupun dengan mitra luar UE tercatat lesu.
“Kepercayaan bisnis dan konsumen telah anjlok di negara-negara maju karena berlanjutnya ketegangan perdagangan, tingginya tingkat ketidakpastian kebijakan di Eropa, dan meningkatnya kekhawatiran akibat perlambatan ekonomi China,” jelasnya seperti dilansir dari laman resmi OECD, Senin (11/3/2019).
Koreksi turun hampir terjadi di semua ekonomi G20, dengan penurunan terbesar di kawasan UE. Kondisi ini lebih banyak dipengaruhi pelemahan ekonomi di Jerman, Italia, Inggris, Kanada, dan Turki. Sektor manufaktur diperkirakan mendapat pukulan besar karena perang dagang.
Laurence mengatakan sebenarnya ada beberapa faktor yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti keuangan yang sedikit longgar karena ada sinyal jeda normalisasi kebijakan moneter. Pasar tenaga kerja juga cukup tangguh dengan peningkatan upah secara perlahan.
“Itu mendukung pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Namun, yang mengkhawatirkan, risiko penurunan terus meningkat dan pertumbuhan bisa jauh lebih lemah jika risiko ini terwujud,” tegasnya.
Dia menyebut setidaknya ada tiga sumber utama risiko yang menjadi perhatian. Pertama, ketidakpastian yang berlanjut sebagai imbas perang dagang. Meskipun ada rencana penyelesaian perjanjian dagang antara Amerika Serikat dan China, OECD memproyeksi masih ada risiko langkah-langkah lanjutan terkait pembatasan.
Jika AS memberlakukan tarif pada mobil-mobil Eropa, sambunya, akan ada risiko tertekannya ekonomi UE. Bagaimanapun, ekspor kendaraan bermotor mewakili sekitar 10% dari total ekspor barang dagangan UE ke Amerika Serikat.
Kedua, ketidakpastian yang cukup besar tentang tingkat perlambatan China. Pemerintah telah menerapkan stimulus moneter dan fiskal yang cukup besar, termasuk pemotongan pajak dan investasi infrastruktur. Namun, efektivitas langkah-langkah fiskal masih perlu diuji. Sementara itu, utang sektor korporasi berada pada tingkat yang sangat tinggi sehingga memunculkan risiko pada stabilitas kuangan.
“Cina telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan global selama dua dekade terakhir, sehingga perlambatan yang lebih tajam dari yang diperkirakan akan mengalir ke seluruh dunia,” ujarnya.
Laurence memaparkan penurunan 2 poin persentase tingkat permintaan China dalam dua tahun akan menurunkan produk domestik bruto (PDB) global hingga lebih dari 0,5 poin persentase pada tahun pertama.
Ketiga, pelemahan lebih lanjut datang dari Jerman, Italia, atau Inggris sehingga berisiko menyebar ke ekonomi Eropa lainnya. Negara-negara UE berdagang lebih banyak di antara mereka sendiri daripada dengan negara lain di dunia.
Di kawasan UE yang sebagian besar kredit untuk perusahaan didistribusikan melalui bank, ada risiko kenaikan imbal hasil dan peningkatan biaya pendanaan bank. Hal ini berisiko mengurangi pasokan kredit serta memperkecil investasi dan konsumsi yang pada gilirannya menekan lapangan kerja.
“Normalisasi kebijakan moneter telah berhenti di negara-negara maju utama. Memang demikian adanya, ada peningkatan ketidakpastian. Pada saat yang sama, prospek pertumbuhan lebih lemah dan inflasi terkendali. Kebijakan moneter dapat dan tidak seharusnya bertindak sendiri,” jelasnya.