OPINI PAJAK

Menuju Kebijakan Pajak Berkelanjutan di Asean

Redaksi DDTCNews
Selasa, 28 Juli 2020 | 10.27 WIB
ddtc-loaderMenuju Kebijakan Pajak Berkelanjutan di Asean

Alek Karci Kurniawan,

Associate di ECONACT Indonesia

DI kawasan Asean kini, tercatat 36 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebanyak 90% dari mereka tinggal di Filipina atau Indonesia. Begitu isi Laporan Asean -China-UNDP Report on Financing Sustainable Development Goals (SDGs) in Asean yang diterbitkan UNDP akhir tahun 2017.

Tahun berikutnya Oxfam menunjukkan data yang lebih mengejutkan. Pada 2018, diperkirakan 73,6 juta dari 653,9 juta orang di Asean hidup dalam kemiskinan. Itu taraf hidup miskin, dengan standar hidup US$1,90 per hari, atau sekitar Rp26.000 dan masih jauh dari kata layak.

Jika yang dipakai ialah taraf hidup layak, maka angkanya akan lebih tinggi, dan lebih banyak orang di Asia Tenggara yang tidak masuk kategori hidup layak.  Angkanya pun melonjak sejak dunia diterpa krisis ekonomi dampak pandemi COVID-19.

Pandemi telah mengekspos sistem kesehatan masyarakat dan perlindungan sosial yang sangat kekurangan sumber daya, dengan lebih banyak orang membutuhkan perawatan kesehatan untuk menyelamatkan jiwa.

Negara-negara anggota di Asean mengalami ketimpangan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa negara masih memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di dunia dan sebagian besar negara di kawasan tersebut gagal berinvestasi dalam layanan publik.

Untuk negara seperti Indonesia, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia, dan Myanmar, situasinya sangat kritis sehingga Bank Pembangunan Asia memperingatkan jika mereka tidak memobilisasi pendapatan yang jauh lebih besar, tujuan pembangunan berkelanjutan 2030 tidak akan tercapai.

Pengumpulan pajak progresif dan pengeluaran sosial untuk layanan publik yang urgen seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial adalah cara paling efektif untuk memerangi kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Aspek paling mengkhawatirkan adalah kurangnya pengeluaran. Hal ini terlihat saat Asean mengalami pembengkakan defisit fiskal. Sebagian besar negara itu mengalami defisit terus-menerus dalam waktu lama. Malaysia, Myanmar, dan Laos diperkirakan mengalami defisit ini 2000-2020.

Vietnam, Kamboja, Indonesia, dan Filipina akan mengalami defisit selama 17 hingga 20 tahun pada periode yang sama. Pada 2018 saja, enam negara di Asean memiliki defisit anggaran yang signifikan, dan beberapa memiliki tingkat utang publik yang tinggi.

Rata-rata negara Asean mengalami defisit 1,5% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2018. Defisit dan utang publik naik signifikan untuk tambahan penanganan Covid-19. Diperkirakan 9 negara di Asean menghadapi defisit pada 2020 dengan rata-rata 4,2% dari PDB masing-masing.

Tiga Rekomendasi
DALAM laporan Oxfam, Vietnam Institute for Economic and Policy Research, The PRAKARSA, dan Tax and Fiscal Justice Asia, Towards Sustainable Tax Policies in di Asean yang dirilis Juni 2020 ini, ada tiga rekomendasi yang akan membantu negara Asean meningkatkan pendapatan nasionalnya.

Pertama, Asean memerlukan daftar hitam dan putih insentif pajak. Mesti diklarifikasi (i) insentif yang berkeadilan dan menguntungkan pertumbuhan ekonomi dan (ii) apa yang menghalangi hal tersebut.

Semua insentif pajak yang berbahaya harus dimasukkan dalam daftar hitam, dan rencana dengan tenggat waktu, harus diberlakukan penghapusannya.

Daftar hitam dapat mencakup insentif pajak berbasis laba yang menawarkan tarif pajak yang rendah, seperti pembebasan pajak, pembebasan pajak yang besar, pengembalian rugi yang hilang dan tarif preferensial. Secara paralel, Asean harus menyetujui daftar putih insentif pajak yang diizinkan.

Daftar putih harus memasukkan insentif pajak untuk investasi yang fokus pada kontribusi kepada masyarakat. Insentif ini harus dipantau keefektifannya, dan penyalahgunaan seperti pemotongan super atau kredit pajak super harus dihindari.

Asean membutuhkan mekanisme untuk memantau perkembangan kebijakan pajak dan untuk mempertahankan kedua daftar ini. Mekanisme tersebut harus transparan dan akuntabel, serta terdiri dari perwakilan politik dan pakar teknis administrasi, akademisi, dan masyarakat sipil. 

Kedua, Asean perlu menyepakati standar pajak minimum umum untuk menghentikan jejak anggotanya ke bawah. Asean harus menyetujui pendekatan spesifik karena perkembangan kebijakan internasional menuju tarif pajak minimum di seluruh dunia kini tengah berlanjut.

Negara Asean harus setuju insentif pajak perusahaan yang ditawarkan tidak boleh lebih rendah dari tarif pajak penghasilan badan minimum yang  berkisar 12,5%-20%. Ini akan melindungi pendapatan pajak domestik anggota Asean dan menghentikan orientasi beggar-thyneighbor policy.

Terakhir, Asean perlu menyepakati aturan tata kelola insentif pajak yang baik. Buku pedoman tata kelola pajak yang baik diperlukan, dan semua insentif pajak harus memiliki kriteria yang jelas berdasarkan dasar hukum yang ditetapkan dalam kode pajak perusahaan.

Tidak ada pengecualian sewenang-wenang yang harus diberikan pada perusahaan. Setiap insentif pajak harus memiliki hukum, kerangka waktu yang jelas dan tanggal akhir. Analisis biaya-manfaat harus dilakukan pada potensi ketentuan insentif pajak sebagai prasyarat untuk persetujuan mereka.

Semua negara Asean harus secara transparan menerbitkan laporan pengeluaran pajak tahunan, bersama dokumen anggaran tahunan. Setelah insentif diberikan, otoritas pajak harus memantau dampaknya dan melakukan analisis biaya-manfaat untuk transparansi dan tata kelola yang baik.

Rekomendasi ini akan membantu Asean meningkatkan pendapatan barang publik, dan mengatasi kesenjangan sosial. Lebih jauh, perubahan kebijakan ini memungkinkan negara Asean mencapai kemajuan yang berkelanjutan dan manusiawi, baik secara ekonomi maupun sosial.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.