DINAMIKA struktur perekonomian di Indonesia yang mulai menuju basis digital telah mendorong banyak inovasi baru, termasuk bisnis usaha layaknya start-up, e-commerce, blogger, bahkan jasa marketing produk yang dikenal sebagai aktivitas endorsement, telah menjadi peluang dalam menghasilkan pendapatan.
Namun, proses perubahan yang terlalu cepat terkadang menyulitkan pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Hal ini menyebabkan banyak regulasi di Indonesia lambat merespons perkembangan bisnis di masyarakat.
Pajak sebagai kantong penerimaan negara pun tak luput dari keterlambatan respons kebijakan pemerintah. Asas pajak yang dijalankan secara berkeadilan sesuai dengan sila kelima Pancasila, faktanya sudah tidak serta merta terlaksana sejak keberadaan model bisnis digital.
Kegagapan dalam penegakan pajak berupa perlakuan tidak seimbang atas pengenaan pajak justru akan menimbulkan kecemburuan sosial. Padahal, jika melihat dari potensi penerimaan dari setiap bisnis digital, nominal pajaknya sangat potensial untuk digarap oleh negara.
Pajak Endorsement
ENDORSEMENT, sebagai tren marketing yang dilakukan melalui sosial media baik berupa tulisan ataupun foto dan video sudah menjadi pilihan bisnis masyarakat saat ini. Tercatat, penerimaan dari setiap unggahan yang dilakukan dapat berkisar dari Rp50.000 hingga Rp25 juta.
Konsumen biasanya lebih melirik pemilik akun yang memiliki followers ataupun viewers lebih banyak dibandingkan ketenarannya. Bahkan, 85% pemilik akun yang memiliki followers lebih dari 10.000, dapat melakukan endorsement sebanyak dua kali sehari (Rosameliana, 2016).
Hal ini dapat menunjukkan mengapa ada banyak orang yang melirik jenis usaha ini, termasuk pemerintah sebagai penerimaan negara. Meski saat ini menurut penuturan Yon Arsal, Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak, belum ada angka rigid mengenai potensi pajak endorsement, namun melihat pesatnya tren endorsement di Indonesia, sangat disayangkan untuk tidak dimaksimalisasi potensinya.
Pada dasarnya, pengenaan pajak endorsement merupakan bagian dari pajak penghasilan, sehingga secara prinsip pajak ini bukan barang baru. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 4 yang menyatakan bahwa objek pajak penghasilan merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak.
Dalam Pasal 25 Ayat 1, juga dijelaskan sistem self-assessment dimana wajib pajak boleh menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang disetorkan. Hal inilah yang masih menjadi permasalahan pemungutan pajak mengingat sulitnya mengawasi bisnis digital.
Berbeda dengan Indonesia yang masih bersandar pada Undang-Undang Pajak Penghasilan, terdapat beberapa negara yang mampu menciptakan regulasi khusus pada pajak endorsement seperti Singapura dan Korea Selatan.
Di Singapura misalnya, terdapat aturan mengenai pengenaan pajak atas pertukaran jasa baik dalam berntuk uang ataupun barang dengan nilai lebih dari Sin$6000 dan diakui sebagai self-employed income. Begitu juga dengan sampel produk dalam promosi yang memiliki nilai lebih dari Sin$100, dikenakan pajak oleh otoritas setempat.
Pembebanan ini sebenarnya memberikan kejelasan terhadap asas pajak ability to pay di mana wajib pajak yang mampu dibebani pajak yang lebih tinggi sehingga bagi pemilik akun ataupun blogger yang mempromosikan barang sebagai hobi ataupun skala usahanya masih kecil dapat terlindungi dari pembebanan pajak.
Kemasan Regulasi
DALAM skema regulasi pajak endorsement, masih ada tumpang tindih mengenai pihak mana yang melakukan pemotongan pajak, apakah dipotong oleh pelaku usaha atau badan distributor dari endorsement. Padahal, Undang Undang Pajak Penghasilan pasal 21 sudah menjelaskan bahwa pengenaan pajak dipotong oleh badan usaha yang memberikan pekerjaan.
Pembebanan yang dilakukan dari pemilik produk lebih tepat dilakukan karena menjalankan asas pajak yakni pay as you earn. Pemilik akun ataupun blogger pun akan merasa diuntungkan karena tidak merasa mengeluarkan pajaknya.
Menimbang konsekuensi terburuk tersebut, sebaiknya hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah, Pertama,dengan menggencarkan sosialisasi agar kedua pihak tidak dirugikan terutama pemilik akun ataupun blogger.
Kedua, pelaporan yang cukup sederhana dapat menjadi pilihan dalam merumuskan kebijakan. Hal ini mengingat kuantitas transaksi yang cukup banyak dan pengguna jasa yang berbeda-beda justru akan menciptakan keinginan untuk tidak melaporkan objek pajaknya.
Apalagi, sistem self-assessment yang diterapkan di Indonesia dapat memberikan peluang untuk melakukan peluang tersebut. Maka dari itu, dengan kemudahan dalam pelaporan diharapkan tidak ada alasan lagi bagi wajib pajak untuk tidak melaporkan kewajibannya.
Ketiga, pemerintah sebaiknya lebih gencar dalam menggaet pihak-pihak dalam mengawasi aktivitas yang dilakukan wajib pajak. Pemerintah dapat saja menggandeng provider dalam mendata aktivitas endorsement ataupun menciptakan tim khusus untuk bisnis digital layaknya Jepang dalam menjaring wajib pajak yang tidak mengakui penghasilannya.
Terakhir, pemerintah mungkin dapat mengulangi kesuksesan amnesti pajak yang mampu menggaet wajib pajak dengan nominal tarif pajak yang lebih besar. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan akan mengundang kesadaran bagi wajib pajak lainnya sehingga pembebanan pajaknya lebih inklusif, berkeadilan dan optimal.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.