KEPATUHAN PAJAK

Mengingat Lagi Pasal 35A yang Terlupakan

Jumat, 22 Maret 2019 | 13:52 WIB
Mengingat Lagi Pasal 35A yang Terlupakan

Bastanul Siregar,
DDTCNews

SEJAK berlaku UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), aktivitas penggalian data dan informasi perpajakan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bertambah 1 kategori.

Kategori pertama, yang ada sejak UU KUP 1983, adalah aktivitas penggalian data/informasi perpajakan untuk kepentingan pemeriksaan, baik pemeriksaan pajak, bukti permulaan, penagihan pajak, maupun penyidikan pajak. Aktivitas ini diatur Pasal 35, 41A, dan 41B.

Kategori kedua, yang baru muncul di UU KUP 2007, adalah aktvitas penggalian data/informasi perpajakan yang dilakukan dalam rangka kepentingan penerimaan negara. Aktivitas ini diatur Pasal 35A dan 41C. Dua pasal ini juga merupakan pasal baru dalam UU KUP.

Pada kategori pertama, DJP berhak meminta keterangan dari pihak ketiga seperti bank, akuntan publik, dst, tentang wajib pajak yang diperiksa. Jika pihak ketiga itu menolak memberi keterangan atau memberi keterangan salah, dipidana 1 tahun penjara dan denda maksimal Rp25 juta.

Lebih jauh lagi, jika pihak ketiga tersebut sengaja menghalangi atau mempersulit DJP khusus dalam melakukan tindakan penyidikan pajak, maka pihak ketiga tadi dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda maksimal Rp75 juta.

Pada kategori kedua, siapapun, baik entitas pemerintah maupun swasta, diberi kewajiban untuk memberi data dan informasi terkait dengan perpajakan kepada DJP. Jika data itu kurang, DJP berhak menghimpun data dan informasi tersebut untuk kepentingan penerimaan negara.

Data/informasi yang dimaksud adalah data/informasi orang pribadi/badan yang bisa menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan/kekayaan, termasuk informasi debitur, transaksi keuangan, lalu lintas devisa, kartu kredit, dan laporan keuangan/kegiatan usaha.

Siapapun yang menolak menyerahkan data/informasi perpajakan itu ke DJP dipidana kurungan maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar. Jika penolakan dilakukan saat DJP menghimpun data, mereka dipidana kurungan paling lama 10 bulan dan denda maksimal Rp800 juta.

Jika ada yang menyebabkan pejabat/pihak ketiga gagal memenuhi kewajibannya dipidana kurungan paling lama 10 bulan dan denda maksimal Rp800 juta. Jika ada yang menyalahgunakan data dan merugikan negara, dipidana kurungan paling lama 1 tahun/denda maksimal Rp500 juta.

Saat RUU KUP 2007 dibahas, penambahan konteks kedua dalam penggalian data/informasi itu jarang diungkapkan, baik oleh DPR, pemerintah, maupun pers. Perhatian waktu itu lebih tertuju pada pemendekan masa daluwarsa dan perubahan mekanisme keberatan/banding.

Bisa dibilang, hampir tidak ada yang membahas Pasal 35A atau 41C. Apalagi diskusi di luar. Perdebatan atas kedua pasal itu juga hampir tidak ada. Kedua pasal tersebut diterima mulus oleh DPR tanpa perdebatan berarti. Lalu, apa sebenarnya yang ada di balik Pasal 35A dan 41C?

Pusat Data Nasional
ADA sejarah panjang dibalik kedua pasal itu. Setiap dirjen pajak selalu mengeluh sulitnya memenuhi target penerimaan dengan dalih tak punya data untuk mengoreksi surat pemberitahuan (SPT). Pasal 35A dan 41C ini adalah infrastruktur utama pembentukan pusat data nasional di DJP.

Melalui pasal ini, DJP akan menerima seluruh data dan informasi terkait dengan perpajakan secara tidak terbatas dari sisi kewajiban pajak pemerintah atau swasta, baik data/informasi nonkeuangan seperti perizinan/kepemilikan maupun data keuangan seperti tagihan/tabungan.

Pasal 35A adalah tonggak penting sejarah perjalanan DJP. Melalui pasal ini, DJP mendapatkan kepercayaan publik untuk memiliki/mengelola pusat data nasional, sekaligus sebagai infrastruktur mitigasi dan penyeimbangan risiko dari sistem self assessment yang dipilih Indonesia.

Tak ada organ pemerintah yang diberi kekuasaan sebesar itu selain DJP. Hanya kepada DJP-lah, semua pihak di Indonesia ini wajib menyerahkan data/informasi terkait dengan perpajakan, baik itu tagihan kartu kredit, listrik, air PAM, telepon, maupun data pembeli mobil dst.

Melalui pasal ini pula, DJP bisa membentuk Single Identity Number (SIN) atau Nomor Identitas Tunggal yang mengonsolidasikan berbagai data dan informasi perpajakan, yang sebelumnya tersimpan di banyak kartu identitas lain termasuk Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Menariknya, setelah UU KUP 2007 disahkan, Pasal 35A dan 41C tadi tidak bisa operasional karena peraturan pemerintahnya tak kunjung terbit. Maklum, UU KUP 2007 mengamanatkan agar ketentuan Pasal 35A itu diatur dengan PP. Tanpa PP, Pasal 35A dan 41C itu tadi lumpuh.

Baru 4 tahun berselang, itu pun setelah dipaksa pendapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pemerintah akhirnya menerbitkan PP Nomor 31 Tahun 2012 pada 27 Februari 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan.

Butuh waktu nyaris setahun bagi Kemenkeu untuk merilis PMK No.16/PMK.03./2013 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan pada 4 Januari 2013, dan data itu pun baru diberikan 4 bulan setelahnya.

Ia juga belum dikenakan pada semua entitas. Penyerahan data tersebut baru diwajibkan pada Ditjen Anggaran, Perbendaharaan, Bea Cukai, Perimbangan Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Pelindo I-IV, BKPM, Kemendagri, Badan Pertanahan Nasional, Otoritas Pelabuhan, dan BI.

Entitas lain baru ditambahkan via PMK No.79/2013 per 11 April 2013, PMK No.95/2013 per 28 Juni 2013, PMK No.132/2013 per 30 Sep. 2013, PMK No.191/2014 per 2 Oktober 2014, PMK No.39/2016 per 23 Maret 2016, dan dikonsolidasi PMK No.228/2017 per 29 Desember 2017.

Kini, sejalan dengan tekanan internasional, Pasal 35A juga Pasal 35 ayat (2) dibatalkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan per 8 Mei 2017 terkait dengan penyerahan data/informasi keuangan.

Hal itu dilakukan sekaligus dengan mencabut Pasal 40, 41 UU No.10/1998 tentang Perbankan, Pasal 47 UU No.8/1995 tentang Pasar Modal, Pasal 17, 27, 55 UU No.10/2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, dan Pasal 41, 42 UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah.

Pasal-pasal tersebut dibatalkan karena menghalangi atau mempersulit DJP dalam mengumpulkan data/informasi di bidang keuangan. Kini, dengan keleluasaan seperti itu, tak ada lagi ‘tembok besar’ yang merintangi DJP mengumpulkan data/informasi terkait dengan perpajakan.

Karena itu, momentum pengesahan Perppu itu seharusnya membuat DJP lebih sistematis menyusun cetak biru pembentukan SIN dan pusat data nasional. Tentu itu tidak mudah, dan tidak bisa singkat, seperti saat DJP sekonyong-konyong merilis kartu Kartin1 beberapa waktu lalu.

Dibutuhkan political will dan perencanaan yang kuat untuk menuntaskan itu. Ada banyak kesepahaman dibutuhkan, dan aturan hukum yang disesuaikan. Bukan hanya mencegah kegagalan penerimaan, SIN dan pusat data nasional akan menjawab kesemrawutan data di negeri ini.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 28 Maret 2024 | 14:42 WIB PELAPORAN SPT TAHUNAN

Mau Pembetulan SPT Menyangkut Harta 5 Tahun Terakhir, Apakah Bisa?

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Jatuh pada Hari Libur, Batas Waktu Pelaporan SPT Tahunan Tidak Diundur

Kamis, 28 Maret 2024 | 12:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Aktivasi EFIN ke Kantor Pajak, Jangan Lupa Bawa 2 Dokumen Ini

BERITA PILIHAN