ANALISIS TRANSFER PRICING

Mencermati Tren Pemeriksaan Transfer Pricing Pasca-BEPS

Redaksi DDTCNews
Senin, 09 September 2019 | 15.01 WIB
ddtc-loaderMencermati Tren Pemeriksaan Transfer Pricing Pasca-BEPS
DDTC Consulting

PADA akhir 2015, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis Laporan Final BEPS Aksi ke-13 tentang dokumentasi transfer pricing (TP) yang harus disediakan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Tujuan utama dari laporan tersebut adalah agar wajib pajak membuat dokumentasi atas posisi penetapan harga yang konsisten dan memberikan informasi yang bermanfaat kepada pihak otoritas pajak dalam menilai risiko TP (OECD, 2015).

Di Indonesia, Laporan Final BEPS Rencana Aksi ke-13 itu diimplementasikan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/2016 pada Desember 2016. PMK ini mengatur jenis dokumentasi yang dipersiapkan wajib pajak atas transaksi yang dilakukannya dengan pihak afiliasi.

Terbitnya aturan tersebut memberikan dampak signifikan dalam pemeriksaan TP di Indonesia. Prinsip-prinsip yang dikembangkan, baik dalam laporan BEPS maupun PMK 213, digunakan otoritas pajak untuk melakukan pemeriksaan TP.

Namun, sejak Laporan Final BEPS Rencana Aksi ke-13 itu terbit, pemeriksaan TP telah berkembang sedemikian rupa. Paling tidak hingga kini terdapat 5 tren dalam kaitannya dengan pemeriksaan TP (Reyneveld dan Antoshina, 2019).

Pertama, penyelarasan alokasi laba dengan pembentukan nilai (value creation). Pada Oktober 2015, OECD merilis Laporan Final BEPS Rencana Aksi 8-10 yang membahas antara lain isu TP atas transaksi harta tak berwujud, alokasi risiko atas laba di tempat risiko dikelola, dan penyelarasan alokasi laba dengan value creation dalam grup usaha.

Di Indonesia, salah satu prosedur yang harus dilakukan otoritas pajak dalam pemeriksaan TP adalah mengidentifikasi risiko transaksi afiliasi wajib pajak (Irawan, 2018). Dokumen induk dan dokumen lokal yang dibuat wajib pajak akan menjadi informasi penting untuk menganalisis rantai pembentukan nilai (value chain) dalam grup usaha wajib pajak.

Kedua, fokus unilateral atas pemeriksaan TP di berbagai yurisdiksi. Otoritas pajak cenderung memilih area tertentu yang jadi fokus pemeriksaan. Di Peru misalnya, otoritas pajak cenderung menentang pembebanan biaya jasa yang ditagihkan pihak afiliasi kepada wajib pajak. Peru menggunakan safe harbor dengan mark-up 5% dan wajib pajak wajib membuat dokumentasi yang komprehensif sesuai dengan syarat yang ditetapkan.

Sementara itu, fokus utama bagi otoritas pajak Indonesia dalam melakukan pemeriksaan TP adalah perusahaan multinasional yang mengalami kerugian serta perusahaan yang membukukan nilai lebih bayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan (PPh) badan.

Ketiga, transaksi keuangan intragrup. Pada Juli 2018, OECD menerbitkan draf diskusi tentang isu penetapan harga transfer atas transaksi keuangan. Beberapa topik yang dibahas dalam draf tersebut yaitu transaksi pinjaman dalam grup usaha (intragroup financing), jaminan (guarantee fee), captive insurance, cash pooling, dan pengaturan lindung nilai (hedging arrangement).

Otoritas pajak biasanya akan fokus pada sifat transaksi keuangan intragrup ini, apakah pengurang pajak penghasilan (deductible or non-deductible expenses) atau karakterisasi dari instrumen keuangan tersebut. Otoritas pajak akan memakai informasi tersebut sebagai bagian dari penilaian profil risiko wajib pajak.

Keempat, kerugian berulang. Hal lain yang menjadi pertimbangan otoritas pajak dalam melakukan pemeriksaan TP adalah perusahaan yang mengalami kerugian secara berulang. Wajib pajak harus dapat menjelaskan kerugian ini secara komprehensif.

Wajib pajak harus memastikan apakah kerugian diakibatkan faktor eksternal seperti keadaan ekonomi dan industri, atau sebab lain misalnya transaksi afiliasi. Namun, yang jadi tantangan adalah bagaimana menjelaskan kepada otoritas pajak bahwa kerugian itu memang harus ditanggung wajib pajak.

Kelima, restrukturisasi bisnis. Hal lain yang menjadi pertimbangan dalam melakukan pemeriksaan TP adalah restrukturisasi bisnis. Restrukturisasi bisnis suatu grup usaha harus diidentifikasi dan dijelaskan secara komprehensif dalam dokumen induk (master file documentation).

Perkembangan di atas hanya sebagian kecil pemicu otoritas pajak untuk melakukan pemeriksaan TP. Selain itu, dapat dilihat proyek BEPS OECD memberikan suatu alat dan informasi tambahan yang diperlukan untuk menilai risiko sehingga dapat menghasilkan pemeriksaan pajak yang berkualitas.

Selanjutnya, bagaimana kesiapan wajib pajak ketika otoritas pajak melakukan pemeriksaan TPApakah dokumentasi penentuan harga transfer yang disiapkan oleh wajib pajak telah sesuai dengan fakta dan telah memenuhi persyaratan yang diminta otoritas pajak?

Jawaban dari pertanyaan tersebut tergantung pada model bisnis wajib pajak, bagaimana penentuan harga transfer dilakukan suatu entitas, bagaimana kondisi ekonomi dan industri serta nilai margin yang diperoleh, serta bagaimana otoritas pajak memaknai dokumentasi TP yang disampaikan wajib pajak.

Menghadapi Pemeriksaan
WAJIB pajak harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya ketika otoritas pajak melakukan pemeriksaan TP. Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan wajib pajak dalam menghadapi pemeriksaan TP.

Pertama, melakukan penilaian risiko TP dengan menerapkan analisis value chainValue chain analysis (VCA) pada dasarnya memiliki kesamaan dengan analisis kesebandingan. VCA memiliki tujuan untuk mendefinisikan strategi kompetitif dari keseluruhan perspektif yang ada (Baumgartner, 2018).

VCA terdiri atas pemahaman bagaimana suatu nilai dapat diciptakan dalam suatu entitas (Gonnet, 2016). Konsep VCA dalam grup multinasional digunakan sebagai dasar pengalokasian remunerasi yang didapat setiap entitas berdasarkan kontribusi yang diberikannya dalam grup usaha multinasional.

Selain itu, konsep value chain juga digunakan untuk mengidentifikasi profil risiko suatu entitas yang berada dalam grup usaha. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan oleh wajib pajak dalam persiapan menghadapi pemeriksaan TP.

Kedua, membuat strategi yang tepat. Identifikasi risiko yang material harus dicantumkan dalam pembuatan dokumen lokal setiap entitas. Selain itu, wajib pajak diharuskan memenuhi permintaan otoritas pajak terkait dengan transaksi afiliasi, misalnya memberikan dokumentasi TP tepat waktu.

Otoritas pajak Indonesia biasanya akan meminta dokumentasi TP pada saat proses pemeriksaan pajak dilakukan sehingga dalam batas waktu tertentu, wajib pajak diharuskan memberikan dokumentasi tersebut kepada otoritas pajak.

Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengelola potensi risiko TP adalah wajib pajak secara proaktif membina hubungan baik dengan otoritas pajak sehingga diskusi yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan profesional.

Ketiga, memastikan dokumentasi TP telah dibuat komprehensif. Dokumentasi TP yang ‘kuat’ dan komprehensif menjadi ‘senjata’ wajib pajak dalam menghadapi pemeriksaan TP. Dokumentasi itu memberikan peluang untuk menjelaskan kebijakan penetapan harga transfer secara terperinci dan membuktikan transaksi yang dilakukannya dengan pihak afiliasi sesuai dengan prinsip kewajaran.

Dokumentasi TP yang komprehensif harus memenuhi syarat seperti yang diatur dalam peraturan TP masing-masing yurisdiksi. Tanpa dokumentasi TP yang komprehensif, wajib pajak tidak akan dapat memenuhi beban pembuktian atas kewajaran transaksi yang dilakukannya dengan pihak afiliasi.

Memang, otoritas pajak di setiap yurisdiksi memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan TP kepada wajib pajak yang mempunyai transaksi afiliasi. Tantangan saat ini adalah seberapa siap wajib pajak menghadapi pemeriksaan TP? Jawabannya kembali kepada masing-masing wajib pajak.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Agus Puji Priyono
baru saja
Era keterbukaan informasi terefleksi dari komprehensivitas TP Doc.Namun transaksi afiliasi jgn selalu dipandang sebagai sesuatu yg negatif krn hub berelasi sifatnya NETRAL dan NATURAL dlm dunias bisnis utk SINERGI BISNIS.