NEGARA suaka pajak atau yang lebih dikenal dengan istilah tax havens telah lama menjadi sorotan publik. Tidak hanya menimbulkan dampak buruk secara ekonomi dan fiskal, kehadiran negara tax havens juga ikut mencederai nilai-nilai sosial dan bahkan hak asasi manusia (HAM) internasional.
Hal inilah yang disoroti oleh Paul Beckett dalam bukunya yang berjudul ‘Tax Havens and International Human Rights’. Buku yang dirilis oleh Routledge di New York pada 2018 ini mengambil kaca mata baru dalam melihat fenomena tax havens yang hingga saat ini masih menjadi persoalan bagi banyak negara di dunia.
Melalui perspektifnya sebagai lulusan magister hukum HAM internasional di New College-Oxford, Paul berpendapat negara tax havens telah melanggar HAM internasional melalui pembuatan struktur bisnis yang kompleks sehingga bisa memperkecil pembayaran pajaknya atau bahkan tidak membayar sama sekali.
Buku ini tidak membicarakan bagaimana kerugian fiskal yang dialami oleh suatu negara akibat penggunaan skema pengindaran pajak di tax havens, namun lebih mempertanyakan bagaimana pihak-pihak yang memperoleh manfaat dari tax havens masih ‘kebal’ dan ‘tersembunyi’ dari mata otoritas.
Diskusi mengenai dampak buruk dari perencanaan pajak agresif (aggressive tax planning) dan pelanggaran HAM hanya seperti ‘gajah dalam ruangan’ (elephant in the room) karena selama ini semua perhatian lebih fokus pada implikasi fiskal dan kalkulasi atas penerimaan pajak yang hilang. Padahal, dampak tax havens lebih besar dari sekadar urusan pajak. Atas dasar itulah, buku ini diterbitkan.
Buku yang terdiri dari 7 bab ini mengawali dengan overview mengenai definisi tax havens dan international finance centres (OFC). Definisi tax havens sendiri memiliki banyak versi, seperti menurut Gravelle, OECD, IMF dan Tax Justice Network, sehingga definisnya masih tumpang tindih dan terkadang bertentangan satu sama lain. Hal ini yang menyebabkan ada satu negara yang menurut satu pihak dikategorikan sebagai tax havens, dan di pihak lainnya tidak.
Dalam pertandingan definisi tersebut, pandangan politik internasional sepenuhnya digerakkan oleh kekuatan pasar dan fiskal, di mana fokusnya tidak pada aktivitas bisnis yang dilakukan oleh perusahaan atau struktur bisnis yang diadopsi, namun lebih kepada seberapa besar profit yang diperoleh dan bagaimana pemerintah dapat memajaki profit tersebut.
Dalam perspektif HAM, poin pentingnya adalah unsur aliran dana, ketidakjelasan (opacity), dan absennya akuntabilitas dari struktur atau skema yang diadopsi perusahaan di negara tax havens yang mengarah pada praktik penghindaran pajak (tax avoidance) atau penggelapan pajak (tax evasion).
Tax avoidance/evasion hanyalah gejala dari penyakit yang lebih dalam yang berakar pada pelanggaran pada hak fundamental yaitu HAM. HAM bahkan disebut sebagai penghalang bagi segala bentuk kapitalisme yang mendunia, tamak, dan memecah belah (Conor Gearty, 2004). UN High Commisioner for Human Rights pada 13 Juni 2016 menggarisbawahi ketiadaan dialog HAM dalam urusan bisnis.
Lebih lanjut, offshore structures yang diterapkan di negara tax havens dirancang untuk menyembunyikan status kepemilikan, kekayaaan, dan tujuan yang sebenarnya dan pada akhirnya menghilangkan konsep beneficial ownership. Entitas artifisial yang dibangun terus berevolusi untuk tidak memenuhi kebutuhan sosial masyarakat umum.
Banyak negara tax havens menolak akses publik terhadap informasi beneficial ownership. Secara tidak langsung mereka telah mengkorupsi aturan hukumnya sendiri dan mempromosikan trust tanpa beneficial owner atau perusahaan tanpa substansi bisnis. Peran ‘merusaknya’ masih belum terlihat jelas dalam debat global mengenai tax evasion, money laundering, dan pendanaan terorisme. Namun tidak ada keraguan, struktur bisnis artifisial di negara tax havens adalah 'mesin global' pelanggaran HAM internasional.
Meregulasi tax havens hanya dalam konteks perpajakan terbukti tidak akan efektif, mengingat karakter ‘bunglon’ perencanaan pajak internasional dan persediaan ‘pakaian baru’ untuk mengkamuflase bentuk struktur agar terhindar dari regulasi yang dibuat. Ketiadaan kapasitas dalam menentukan beneficial ownership, pengumpulan data yang efektif, dan menyebarluaskan data menjadi persoalan tersendiri.
Selain itu, dalam salah satu bab, penulis secara khusus mengulas mengenai Swiss, yang disebutnya sebagai ‘the grandfather of tax havens’. Swiss mengindikasikan situasi dikotomi. Di satu sisi, negara ini merupakan negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak sipil dan politik. Namun di sisi lain, Swiss menjadi ‘buyut’ dari negara-negara tax havens di dunia.
Negara ini sangat kental dengan aliran dana gelap (illicit financial flow) yang berhubungan erat dengan sektor perbankan dan investasi. Aliran dana gelap tersebut bisa bersumber dari aktivitas legal maupun tidak. Namun, pada akhirnya dapat berdampak secara ekonomi dan sosial serta HAM kepada masyarakat umum di suatu negara, khususnya di negara berkembang.
Studi mengenai tax havens dan kaitannya terhadap HAM merupakan hal yang baru. Untuk itu, dalam bab terakhir, penulis memberikan konklusi serta rekomendasi untuk studi selanjutnya serta ditujukan untuk pemerintah, organisasi internasional, dan stakeholder lainnya yang tertarik untuk melihat tax havens dari perspektif HAM internasional.
Secara garis besar buku ini bukanlah buku hukum HAM internasional, tetapi buku yang mengupas mengenai hubungan antara tax havens dan hukum HAM internasional. Buku ini mengulas apa itu tax havens, apa struktur dan strategi yang diterapkan oleh pemerintahan negara tax havens, dan bagaimana mereka memfasilitasi penghindaran akuntabilitas publik.
Tertarik untuk membaca buku ini? Silakan berkunjung ke DDTC Library.*