Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menyiapkan aplikasi baru berbasis web untuk mengakomodasi pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 menggunakan tarif efektif. Isu ini menjadi salah satu topik yang ramai diperbincangkan netizen selama sepekan terakhir.Â
Penyuluh Ahli Madya DJP Dian Anggraeni mengatakan penerapan tarif efektif rata-rata PPh Pasal 21 telah diatur dalam PP 58/2023 dan PMK 168/2023, yang berlaku mulai masa pajak Januari 2024. Oleh karena itu, aplikasi baru pengganti e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 juga terus disiapkan.
"Nanti ada perdirjen baru yang yang akan mengatur terkait dengan pelaporan SPT Pasal 21 yang menggantikan e-SPT yang sudah ada, dengan versi web," katanya.
Dian mengatakan aplikasi baru berbasis web pengganti e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 ditargetkan dirilis pada bulan ini, sebelum batas pelaporannya paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Selain menyiapkan aplikasi baru berbasis web pengganti e-SPT, DJP juga menyiapkan alat bantu berupa kalkulator untuk mendukung penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan tarif efektif rata-rata. Kalkulator tersebut akan segera dirilis setelah melewati serangkaian tes dalam waktu dekat.
"Namun untuk mengisi kalkulator TER, tentu harus memahami kita lagi membayar pegawai tetap kah, pegawai tidak tetap kah, bukan pegawai kah, dan lain sebagainya," ujarnya.
Baca artikel lengkapnya, 'Mulai Januari 2024, Lapor SPT Masa PPh 21 Pakai Aplikasi Baru dari DJP'.
Topik selanjutnya, pemerintah memperbarui tata cara pengenaan PPh final UMKM dengan tarif 0,5% bagi wajib pajak UMKM yang memiliki omzet maksimal Rp4,8 miliar. Pembaruan aturan ini menjadi salah satu topik yang paling banyak diperbincangkan netizen selama sepekan terakhir.Â
Melalui PMK 164/2023, Kemenkeu menegaskan PPh final UMKM harus disetorkan pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir, sedangkan SPT Masa PPh Unifikasi harus dilaporkan maksimal 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Namun, kewajiban untuk menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi tersebut dikecualikan bila: dalam suatu bulan tidak terdapat penyetoran PPh final karena wajib pajak tidak memiliki penghasilan dari usahanya; wajib pajak hanya melakukan transaksi yang dilakukan pemotongan/pemungutan PPh; atau omzet wajib pajak orang pribadi UMKM secara kumulatif sejak masa pajak pertama belum melebihi Rp500 juta.
Sebagaimana diatur dalam UU HPP dan PP 55/2022, omzet wajib pajak orang pribadi UMKM sampai dengan Rp500 juta dibebaskan dari pengenaan PPh.
Baca artikel lengkapnya, 'Omzet Tak Lebih dari Rp 500 Juta, WP OP UMKM Tak Perlu Lapor SPT Masa'.
Selain dua topik di atas, masih ada beberapa pemberitaan yang menarik untuk disimak kembali. Di antaranya, PMK baru mengenai perincian pengujian kepatuhan penerapan ALP, perlunya surat pernyataan bagi UMKM beromzet Rp500 juta, revisi aturan soal barang impor yang mendapat fasilitas KITE, dan aturan baru soal PKKU.Â
Pemerintah merilis PMK 164/2023 yang memuat tata cara pengenaan PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima/diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu. Ada pula ketentuan kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Terkait dengan terbitnya PMK 164/2023, Ditjen Pajak (DJP) merilis keterangan resmi. DJP menyatakan PMK 164/2023 merupakan aturan pelaksanaan Pasal 57, Pasal 62, dan Pasal 63 PP 55/2022 serta perubahan PMK 68/PMK.03/2010 s.t.d.d PMK 197/PMK.03/2013.
Menurut DJP, terdapat 2 hal utama yang diatur dalam PMK 164/2023. Pertama, pengaturan teknis PPh final wajib pajak peredaran bruto (omzet) tertentu. Kedua, relaksasi batas waktu pengukuhan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Kementerian Keuangan memerinci tata cara pengujian terhadap kepatuhan wajib pajak dalam menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle/ALP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 172/2023.
Merujuk pada Pasal 36 ayat (1) PMK 172/2023, direktur jenderal pajak berwenang untuk menentukan kembali besaran penghasilan kena pajak melalui pengujian kepatuhan wajib pajak dalam menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
"Pengujian kepatuhan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha…meliputi pengujian atas pemenuhan ketentuan penyelenggaraan dokumen penentuan harga transfer dan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha," bunyi pasal 36 ayat (2).
Surat pernyataan yang menyatakan omzet wajib pajak orang pribadi UMKM belum melebihi Rp500 juta tidak boleh disalahgunakan.
Dengan surat pernyataan itu, wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet tidak lebih dari Rp500 juta bisa terbebas dari pemotongan atau pemungutan PPh final 0,5% ketika melakukan penjualan barang atau penyerahan jasa kepada pemotong/pemungut pajak.
PMK 164/2023 memuat ketentuan jika surat pernyataan disampaikan wajib pajak orang pribadi, sedangkan pada kenyataannya peredaran bruto atas penghasilan dari usaha melebihi Rp500 juta dalam 1 tahun pajak.
DItjen Bea dan Cukai (DJBC) mengatur kembali ketentuan teknis penyelesaian barang asal impor yang mendapat kemudahan impor untuk tujuan ekspor (KITE) dengan cara selain diekspor.
Pengaturan kembali tersebut tertuang dalam Perdirjen Bea dan Cukai No. PER-27/BC/2023. Beleid itu dirilis untuk lebih meningkatkan pelayanan dan pengawasan atas penyelesaian barang asal impor yang mendapat KITE selain dengan cara diekspor.
"Untuk meningkatkan pelayanan dan pengawasan…perlu mengatur kembali ketentuan mengenai juknis penyelesaian barang asal impor yang mendapat KITE dengan cara selain diekspor," bunyi salah satu pertimbangan PER-27/BC/2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan peraturan baru terkait dengan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atau arm's length principle (ALP) dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan Istimewa.
Peraturan yang dimaksud adalah PMK 172/2023. Salah satu pertimbangan terbitnya PMK 172/2023 adalah untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan kemudahan dalam pelaksanaan hak serta pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan terkait transaksi yang dipengaruhi hubungan Istimewa.
“… perlu dilakukan penyesuaian pengaturan mengenai penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan Istimewa,” bunyi penggalan salah satu pertimbangan dalam PMK 172/2023. (sap)