SUDAH belajar teknik elektro, bidang yang paling banyak diminati anak muda pada 1980-an, dia akhirnya memutuskan banting setir menekuni bidang akuntansi dan perpajakan. Berbekal dari pengalaman, dia terus memperlengkapi diri, termasuk pada bidang hukum.
Multidisiplin ilmu menunjang dunia keprofesian yang dia jalani sebagai akademisi dan praktisi pada bidang akuntansi, perpajakan, serta hukum. Dengan pendidikan Doktor Ilmu Hukum, dia juga sempat menjadi salah satu Calon Hakim Agung Kamar TUN Khusus Pajak.
Dia adalah salah satu Dewan Pendiri dan Ketua Bidang Organisasi Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Doni Budiono.
PERTAPSI menjadi nama baru dari Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ATPETSI). Perkumpulan ini merupakan satu-satunya wadah bagi tax center dan akademisi pajak di Indonesia yang mandiri dan membentuk badan hukum.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Doni. Wawancara secara daring lebih banyak memperbincangkan keprofesian, pendidikan, serta pandangannya terkait peran tax center dan akademisi. Berikut kutipannya:
Apa kegiatan sehari-hari Anda terkait dengan keprofesian?
Sehari-hari, saya berprofesi sebagai konsultan pajak. Nah, di samping sebagai konsultan pajak, saya juga sebagai pimpinan dari kantor jasa akuntan (KJA). Itu adalah profesi saya yang berkaitan dengan pajak.
Ya memang berprofesi sebagai konsultan pajak dan akuntan enggak cukup. Ini karena sengketa pajak pasti bersinggungan dengan masalah di pengadilan. Saya tergerak untuk belajar kembali menjadi seorang lawyer. Sekarang saya juga sudah memiliki kantor advokat.
Selain itu, saya memperhatikan di negara-negara maju yang tidak mempunyai sumber daya alam yang bagus, intellectual property-nya berkembang. Dari situ saya tergerak menjadi konsultan hak kekayaan intelektual (HKI). Saya juga sebagai kurator. Dengan demikian, banyak profesi yang saya tangani.
Anda masuk pada berbagai bidang. Lantas, bagaimana perjalanan pendidikan Anda?
Saya ini sekolah dari SD, SMP, dan SMA pindah-pindah. SD saya di Jakarta. SMP saya di Tulungagung. SMA di Malang. Setelah selesai SMA, saya mengikuti teman-teman mengambil teknik elektro di Universitas Kristen Petra. Zaman dulu, ’80-an, kelas yang paling diminati anak-anak muda itu teknik.
Singkat cerita, sebelum saya lulus, orang tua mengalami problem terkait dengan usahanya, yaitu masalah perpajakan. Pada ’89, orang tua saya meninggal. Waktu itu, saya harus menggantikan posisi orang tua berhadapan dengan pemeriksa.
Masalah perpajakan ini muncul karena ketidaktahuan. Pengalaman itu sangat membekas di hati saya. Bagaimana ketidaktahuan wajib pajak ini dampaknya luar biasa. Itulah yang membuat saya terpacu karena ini mempertaruhkan seluruh tempat yang saya miliki. SKP-nya cukup besar. Dari situlah, saya tergerak.
Saya ingin belajar pajak supaya ngerti. Jangan sampai kejadian lagi seperti pengalaman yang dihadapi orang tua saya. Dari situlah saya belajar brevet. Kemudian, saya juga kuliah akuntansi agar lebih paham. Saya kuliah pagi dan pelatihan akuntan publik malamnya.
Setelah itu, saya merasa tertantang untuk menjadi seorang akuntan. Kuliah lagi sampai jenjang PPAk (Pendidikan Profesi Akuntansi). Saya tidak pernah absen sekolah. Saya sekolah enggak bolosan. Saya enggak pernah mundur untuk belajar sungguh-sungguh.
Setalah PPAk, saya ambil Magister Hukum di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Kemudian, saya mengambil Magister Sains Akuntansi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA). Setelah itu, saya berpikir harus menyelesaikan doktor ilmu hukum. Saya meneliti mengenai pengadilan pajak.
Jadi, ini bukan karena hobi sekolah. Saya itu merasa [sekolah sebagai] kebutuhan. Butuh ngerti pajak, ekonomi, akuntansi, hukum, dan lainnya. Saya butuh memperlengkapi dan mengembangkan diri saya.
Terkait dengan pajak, bagaimana Anda melihat sistem yang ada di Indonesia?
Saya coba ceritakan pengalaman saya. Waktu masih kecil, saya sering diajak ke kantor pajak sama orang tua saya. Saya heran kenapa setiap ke kantor pajak selalu pakai baju yang jelek dan pakai sandal. Enggak boleh pakai sepatu.
Saya tinggal di Tulungagung. Kantor pajaknya di Kediri. Begitu saya mengantar orang tua saya naik mobil, berhenti di Dhoho. Setelah itu, kami naik becak ke kantor pajak. Saat itu saya bingung, ini kenapa?
Intinya, di mana belum ada modernisasi, orang saat itu melihat dari tampilan Anda datang. Tampilan Anda datang dianggap orang sukses atau orang kaya berarti pajaknya harus besar. Itu yang terjadi. Apalagi, waktu itu sistem official assessment. Jadi, datang ke kantor pajak, hitung bayar berapa.
Nah, pada ’83-’84 kan berubah menjadi sistem self assessment. Wajib pajak hitung, setor, dan lapor. Di situpun masih belum modern. Orang datang ke kantor pajak takut. Pokoknya pura-pura jadi orang enggak punya biar pajaknya kecil.
Seiring berjalannya waktu, dengan arah penggunaan single identity number, lebih tertib. Nah, sekarang mulai dikembangkan dengan penggunaan NIK menjadi NPWP. Ini kan cikal bakalnya menjadi satu nomor nanti. Ini perkembangan yang baik karena akan semakin tertib.
Perubahan arahnya bagus. Orang bayar sekarang dengan e-billing cepat. Pelaporan juga pakai e-filing. Ini sesuatu yang menurut saya perkembangan yang luar biasa, termasuk keterbukaan informasi perbankan.
Artinya ada perkembangan positif …
Betul. Luar biasa perkembangannya. Memang harus dikembangkan terus menurus sehingga pembayaran pajak itu makin mudah. Namun, memang yang saya alami sekarang ini aturannya banyak dan berubahnya cepat sekali. Ini implikasinya ke teknis pelaksanaan.
Apakah hal ini memengaruhi pemahaman mengenai pajak, termasuk dari para akademisi?
Kalau kita kumpulkan akademisi, apalagi sebelum adanya Zoom, perbedaan pemahaman pajak antara di luar Jawa dan Jawa itu seperti bumi dan langit. Apalagi, zaman dulu tidak ada seperti Perpajakan ID dan sebagainya. Saya dulu modalnya business news dicetak dan dibundel semua. Enggak praktis.
Siapa yang pegang aturan lebih dulu, dia akan menjadi konsultan yang hebat. Jadi, bukan siapa yang baca. Ini karena aturan sekarang mungkin hampir setahun baru bisa tahu. Ini zaman tahun ’86. Setengah mati belajar pajak. Enggak seperti sekarang bisa searching di Perpajakan ID dengan mudah.
Bagaimana akademisi dan tax center seharusnya mengambil peran dalam perpajakan Indonesia?
Ide pendirian tax center di kampus-kampus itu luar biasa. Ada edukasi ke orang-orang yang nantinya akan menjadi pembayar pajak. Harapan saya, dari apa yang disampaikan Prof John [Ketua Dewan Pembina PERTAPSI], tax center juga harus menjadi tempat untuk riset dan konsultasi.
Diharapkan orang-orang ini pinter-pinter semua dan mengerti pajak sehingga dapat juga membantu Direktorat Jenderal Pajak. Tax center menjembatani kalau teman-teman ingin melakukan penelitian, khususnya dengan objek Direktorat Jenderal Pajak. Jadi, ada rekomendasi.
Jadi, tax center ini bukan sekadar aktif menyelenggarakan brevet, melainkan juga menjadi lembaga nonprofit di kampus yang bisa berkolaborasi dengan wajib pajak dan DJP. Bisa menjalin relasi dalam melakukan riset atau penelitian.
Intinya, tax center sebetulnya sebagai tempat orang-orang berkumpul. Bayangkan saja kampus ada berapa? Kalau 1 kampus itu 1 tax center saja sudah luar biasa. Tax center ini berperan menjembatani. Kalau ada mahasiswa yang ingin melakukan riset, bisa ke tax center karena sudah menjalin MoU dengan DJP.
Selain riset, bisa juga konsultasi. Jadi, orang-orang kalau mau tanya soal pajak bisa juga ke tax center. Kantor pajak kan juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan tax center kampus. Kalau di seluruh kampus ada tax center kan makin banyak.
Apa harapan Anda dengan adanya PERTAPSI?
Tidak dimungkiri, ada tax center yang berhasil, tetapi ada pula yang ‘mati suri’. Kemudian, ada akademisi yang memang mumpuni, tetapi ada juga yang perlu peningkatan kemampuan. Berpijak dari kondisi inilah, PERTAPSI berperan penting.
Nantinya, PERTAPSI dapat menjembatani dan mengumpulkan tax center dan dosen. Harapan saya, di bawah kepemimpinan Pak Darussalam [Ketua Umum PERTAPSI], lebih besar lagi kontribusi tax center dan akademisi. Tax center yang sudah berhasil bisa sharing. Dosen-dosen yang sudah mumpuni juga bisa berbagi pengetahuan.
Artinya, menjadi jembatan untuk pemerataan pengetahuan perpajakan para dosen di seluruh Indonesia. Kemudian, semua tax center dapat hidup dan berkontribusi. Kalau ada yang ‘mati suri’, mari kita bicara dan hidupkan dengan kegiatan-kegiatan positif.
Minimum tax center ini bisa mengembangkan research bagi mahasiswanya. Tax center juga bisa memberikan edukasi bagi masyarakat sekitar. Jadi, kalau ada wajib pajak yang enggak mengerti, bisa datang ke tax center dulu. Ini terutama bagi yang enggak mampu ke konsultan.
Misalnya, UMKM tahunya [bayar pajak dengan tarif] 0,5%, tapi enggak tahu bagaimana mekanismenya. Kemudian, setelah pajak UMKM dibayarkan, bagaimana pula penambahan harta kekayaan dalam SPT. Ini perlu edukasi sederhana. Bisa lewat tax center.
Apa harapan Anda untuk pajak Indonesia?
Saya itu punya impian negara kita ini maju. Negara yang maju ini adalah negara di mana penerimaan pajak baik. Kalau penerimaan pajak rendah, bagaimana kita mau maju. Kalau kita punya uang dari penerimaan pajak, kita bisa melakukan apapun. Salah satunya adalah membangun infrastruktur.
Harapan kita ke depan, perpajakan harus lebih baik, lebih mudah, dan simple. Aturan-aturannya juga mudah diakses dan diketahui masyarakat. Tentu saja, harapannya, banyak juga yang bisa ditanyain [mengenai pajak]. Artinya, tax center perlu diberdayakan.
Apalagi, tupoksinya AR (account representative) sekarang lebih banyak ke pengawasan, bukan konsultasi. Oleh karena itu, peran tax center juga makin penting untuk tempat konsultasi wajib pajak. Tax center bisa membantu wajib pajak memahami aturan dengan baik.
Tax center-tax center yang ada akan dikoordinasikan melalui PERTAPSI. Baik yang terdaftar di DJP maupun yang tidak akan dikoordinasikan. Dengan demikian, PERTAPSI yang akan bisa melihat kebutuhan tax center, termasuk dalam hal edukasi dan berbagi pengetahuan perpajakan.
Kalau memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama, nanti jawaban atas suatu masalah yang dihadapi wajib pajak juga akan sama. Tidak ada perbedaan jawaban antara di Papua dan Jawa, misalnya. Seluruh Indonesia sama.
Apa yang akan menjadi agenda kesibukan Anda ke depan?
Saya memang melihat kunci dari kesuksesan tidak lepas dari pengembangan pengetahuan di bidang profesi itu sendiri, misalnya bidang pajak. Kita harus riset. Enggak cukup hanya implementasi. Kita harus pelajari terus-menerus kalau kita sudah mengambil suatu profesi.
Secara internal, saya terus berbenah. Saya kembangkan ruangan riset, perpustakaan, dan teknologi. Bekerja bukan hanya teknis, mereka [para profesional] juga harus membaca, menulis, membuat artikel, serta membuat modul. Pajak, hukum, akuntansi, HAKI, kepailitan, dan sebagainya.
Kemudian, saya ingin aktif berperan dalam organisasi yang sudah saya ikuti. Untuk di PERTAPSI, saya ingin ke depannya kita bisa mengidentifikasi tax center yang perlu dibenahi. Kita istilahnya ngewongke. Kita ajak ngomong.
Kita panggil juga dosen dan tax center yang sudah berhasil untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. Tax center itu menjadi tempat yang bisa ditanyai orang. Istilah saya, tax center itu miniatur dari kantor pajak. Kalau ditanya teknis pajak, ya mengerti. (kaw)
Data Singkat
Dr. Doni Budiono, S.T., S.E., Ak., S.H., M.H., MSA., CA., ACPA.
Profesi
Pendidikan
Organisasi