PERKEMBANGAN teknologi telah melahirkan berbagai inovasi. Salah satunya adalah reklame berjalan pada kendaraan berbasis aplikasi dalam jaringan (daring). Dengan aplikasi ini, pemasang reklame bisa dengan mudah memasang reklamenya pada kendaraan yang bergerak sesuai rute yang diinginkan.
Caranya, pemasang reklame memilih moda kendaraan yang akan menerima reklame sekaligus rute pergerakan kendaraannya. Sama halnya dengan cara kerja perusahaan transportasi online, order dari pemasang reklame lalu diteruskan aplikasi tersebut ke pemilik kendaraan yang menjadi mitranya.
Bagi pemasang reklame, cara ini tentu lebih mudah, cepat, efisien sekaligus transparan. Pemasang reklame tidak perlu repot keluar biaya untuk memilih perusahaan penyedia jasa reklame berikut moda kendaraan yang dimilikinya, apakah itu mobil atau sepeda motor.
Sebagai gantinya, teknologi GPS (global positioning system) yang terdapat pada aplikasi itu sudah memberikan informasi secara real time sekaligus presisif tentang pergerakan kendaraan penerima reklame. Singkatnya, tinggal klik saja, reklame sudah bisa terpasang.
Di Amerika Serikat, fenomena seperti ini bukan barang baru. Beberapa tahun lalu muncul aplikasi Wrapify yang melayani reklame mobil bergerak. Di Indonesia, sudah ada StickEarn, Ubiklan, Sticar, Promogo, Wrapmobil, dan Klana. Belakangan, Gojek dan Grab juga merambah lini bisnis tersebut.
Masalahnya, bagaimana pemajakan reklame berjalan pada kendaraan yang pergerakannya melintasi batas wilayah kabupaten/ kota/ provinsi seperti DKI Jakarta yang tarif pajaknya berbeda? Bagaimana pula perhitungan pajaknya dengan mengingat kontrak antara pemilik aplikasi dan mitranya?
Nilai Kontrak
PAJAK reklame merupakan salah satu pajak daerah sumber pendapatan asli daerah yang dipungut pemerintah kabupaten/ kota kepada badan atau orang pribadi atas semua penyelenggaraan reklame. Pengenaan pajak reklame diatur peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Untuk reklame berjalan, dasar pengenaan pajaknya secara umum ditetapkan berdasarkan nilai sewa reklame. Namun, untuk pengadaan mandiri atau reklame yang cacat penghitungan nilai sewa, maka nilai kontrak tersebut dihitung dengan tambahan faktor lain.
Di sinilah masalahnya. Ketentuan pajak reklame yang ada di kota-kota besar di Indonesia masih belum memasukkan faktor pergerakan reklame pada kendaraan, pada jalan kelas berapa moda kendaraan tersebut bergerak, termasuk domisili dan status hukum perusahaan pemilik aplikasi.
Faktor-faktor itu absen pada Provinsi DKI Jakarta misalnya. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 27 Tahun 2014 tentang Penetapan Nilai Sewa Reklame tidak memuat ketentuan itu, kecuali hanya untuk nilai tarif sewanya yang dihitung sebesar Rp50 ribu per m2/ hari.
Padahal, memasukkan berbagai faktor tersebut dalam ketentuan pajak reklame bergerak didasarkan pada alasan yang sangat mendasar yang seharusnya tidak bisa ditolak, yaitu keadilan. Konsekuensi dari absennya pengaturan ini tentu akan mencederai perbaikan iklim usaha yang sehat.
Alasan keadilan yang dikemukakan di sini tentu berisiko mendistorsi bisnis dan iklim usaha karena pada kenyataannya, efektivitas reklame bergerak yang menempel pada kendaraan bermotor sangat tergantung pada tingkat kemacetan jalanan dan panjang lintasan pergerakan itu sendiri.
Pemajakan Adaptif
DI SISI LAIN, pergerakan reklame berjalan yang bisa dengan mudah melintasi batas-batas wilayah administratif kabupaten/ kota tentu juga memberikan tantangan tersendiri terhadap konsep lama pajak daerah di mana objek pajaknya bersifat menetap atau tidak berpindah ke daerah lain.
Akan tetapi, pergerakan reklame berjalan seperti itu tentu tidak bisa dicegah untuk tetap bergerak di dalam batas wilayah administratif tertentu, dan akan percuma jika dihambat. Sebaliknya, aturan atau ketentuan yang ada harus beradaptasi dengan inovasi perkembangan teknologi.
Karena itu, pemerintah harus bertindak cepat untuk merumuskan respons dan adaptasi kebijakan yang melahirkan regulasi pemajakan yang sesuai perkembangan. Misalnya, dengan pelimpahan dan sharing pajak reklame ke provinsi apabila reklamenya bergerak melintasi beberapa kabupaten/ kota.
Respons kebijakan lain yang tidak kalah penting adalah dengan memperjelas aturan tentang kontrak komitraan antara pemilik aplikasi dan pemilik kendaraan mitranya. Kontrak tersebut antara lain harus memuat batas maksimum panjang lintasan yang dimonetisasi imbalannya per jarak kilometer
Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan kapasitasnya dalam memungut dan menghitung kewajiban perpajakan reklame berjalan. Pemerintah daerah perlu mengadopsi teknologi yang dapat menghitung nilai sewa reklame di luar tarif/ m2/ hari tadi, baik untuk kelas jalan dan panjang lintasan.
Kesiapan pemerintah dalam hal regulasi perpajakan dan peningkatan kapasitas aparaturnya inilah sebetulnya yang menentukan siap tidaknya iklim usaha kita menerima serangan disruptive innovation. Kalau tidak siap, ya jangan menyalahkan siapapun kalau kemudian timbul kegaduhan sosial.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.