ANALISIS TRANSFER PRICING

Identifikasi Keberadaan 'Know-how' dalam Transfer Pricing

Selasa, 07 Februari 2017 | 14:04 WIB
Identifikasi Keberadaan 'Know-how' dalam Transfer Pricing

Rahmat Muttaqin,
DDTC Consulting

PEMBAYARAN royalti atas penggunaan harta tak berwujud kepada pihak afiliasi merupakan hal yang lazim terjadi di dunia bisnis. Bagi beberapa negara yang sudah menerapkan aturan mengenai transfer pricing, perusahaan yang melakukan transaksi afiliasi termasuk pembayaran royalti diwajibkan untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang dituangkan dalam suatu dokumentasi transfer pricing.

Ketentuan mengenai dokumentasi transfer pricing di Indonesia diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi Dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya (PMK 213/2016).

Pasal 2 ayat (2) huruf b PMK 213/2016 mengatur bahwa wajib pajak yang melakukan pembayaran royalti dengan nilai transaksi melebihi Rp5 miliar kepada pihak afiliasi dikenakan kewajiban untuk membuat Dokumen Penentuan Harga Transfer berupa dokumen induk (master file) dan dokumen lokal (local file).

Dalam dokumen lokal tersebut akan dilakukan analisis penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi pembayaran royalti yang salah satu bagiannya adalah membuktikan eksistensi dari harta tak berwujud yang digunakan.

Adapun, transaksi afiliasi yang melibatkan harta tak berwujud memang cukup kompleks dan rumit mengingat karakteristiknya yang tidak terlihat secara kasat mata. Hal ini tercermin dari fakta bahwa pembayaran royalti merupakan sengketa transfer pricing yang paling sering terjadi per tahun 2013 (DDTCNews, 2016).

Harta tak berwujud terbagi menjadi commercial intangibles dan marketing intangibles. Salah satu jenis commercial intangible adalah know-how. Know-how merupakan salah satu harta tak berwujud yang sering digunakan pada perusahaan manufaktur. Know-how memang unik karena pada umumnya bersifat tidak didaftarkan, berbeda dengan harta tak berwujud seperti trademark (Boos, 2003).

Selain itu, SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa juga menjelaskan bahwa know-how lazimnya tidak terdaftar karena perusahaan pemilik know-how menginginkan informasi tersebut harus dirahasiakan.

Paragraf 6.5 OECD Transfer Pricing Guidelines 2010 sebagaimana mengutip Paragraf 11 OECD Commentary tahun 2008 atas Pasal 12 menyebutkan, know-how umumnya berkaitan dengan informasi rahasia mengenai industri, komersial, ataupun ilmu pengetahuan yang timbul dari pengalaman sebelumnya, yang diaplikasikan secara praktik pada operasi bisnis perusahaan dan menghasilkan suatu manfaat ekonomis.

Lantas, bagaimana cara mengidentifikasi keberadaan know-how yang memiliki ciri khas berbeda dengan harta tak berwujud lainnya?

Pada praktiknya, identifikasi keberadaan atas know-how dapat dilakukan. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan cara memastikan cakupan informasi yang ‘diakui’ sebagai know-how yang diberikan oleh afiliasi sudah termasuk dalam pengertian know-how itu sendiri. Dalam hal ini, analisis berangkat dari perjanjian lisensi yang ada.

Salah satu karakteristik know-how yang penting adalah informasi tersebut bersifat rahasia dan tidak diketahui oleh publik. Langkah mudahnya, apabila dilakukan browsing mengenai informasi yang diterima oleh afiliasi tersebut dan menemukan informasi tersebut ada di dunia maya, maka informasi tersebut tidak lagi bersifat rahasia dan merupakan konsumsi publik. Dalam hal ini, informasi tersebut bukan merupakan know-how, namun tergolong sebagai informasi yang sudah diketahui oleh publik.

Pemisahan antara royalti yang dibayarkan atas penggunaan know-how maupun jasa teknik juga harus dilakukan mengikuti ketentuan dari Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku. Perbedaan mendasar antara know-how dan jasa teknik adalah dalam jasa teknik, pihak yang memberikan jasa terlibat aktif dalam pemberian jasa tersebut sedangkan dalam royalti atas know-how pemberi tidak terlibat langsung.

Selanjutnya apabila informasi yang diterima dari pihak afiliasi sudah dipastikan tergolong sebagai know-how, maka langkah selanjutnya adalah dengan memberikan bukti-bukti bahwa penyerahan know-how tersebut memang benar terjadi antara afiliasi selaku licensor kepada afiliasi lainnya selaku licensee. Bukti-bukti bahwa penyerahan know-how memang benar terjadi dapat dilihat melalui media apa saja know-how tersebut ditransfer.

Sebagai contoh, untuk know-how berupa formula rahasia dikirimkan oleh afiliasi melalui berbagai media yang telah disepakati. Contoh lain adalah, afiliasi memberikan modul pelatihan terkait dengan pengaplikasian suatu teknologi tertentu.

Tahapan pembuktian keberadaan atas harta tak berwujud yang digunakan merupakan salah satu tahapan yang krusial harus dilakukan, mengingat salah satu penyebab sengketa royalti transfer pricing yang seringkali terjadi adalah terkait dengan pembuktian keberadaan harta tak berwujud yang digunakan.

Sebagai gambaran, sengketa pajak yang terjadi antara wajib pajak dan Ditjen Pajak untuk tahun pajak 2008. Pokok sengketanya adalah pembayaran royalti wajib pajak kepada pihak afiliasinya di Jepang tidak dapat dijadikan beban biaya karena keberadaan harta tak berwujud yang diragukan oleh Ditjen Pajak.

Melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put-57478/PP/M.IIA/12/2014, majelis mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding dikarenakan majelis melihat bahwa eksistensi dari harta tak berwujud (termasuk di dalamnya know-how) memang benar ada, sehingga dapat dijadikan beban dalam perhitungan penghasilan kena pajak.

Selama persidangan, wajib pajak memberikan bukti-bukti bahwa know-how yang digunakan memang benar ada, salah satunya adalah dengan menunjukkan informasi teknis dan pengetahuan untuk membuat film serta metode pembuatannya yang didapatkan dari afiliasi wajib pajak di Jepang.

Pada intinya, pembuktian keberadaan know-how memerlukan dokumen-dokumen pendukung yang didokumentasikan secara berkelanjutan atas setiap penyerahan know-how. Dokumen-dokumen pendukung tersebut dapat berupa apapun, misalnya: laporan-laporan ilmiah, foto-foto, Standar Operasional Prosedur (SOP) bisnis, gambar desain, dan sebagainya.

Selain itu, meningkatnya penjualan suatu perusahaan dibandingkan dengan sebelum menggunakan know-how juga dapat dijadikan bukti bahwa know-how yang digunakan memang benar ada dan memberikan manfaat ekonomis.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 29 April 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Diskon Tarif Pasal 31E UU PPh Tak Ada Batas Waktu Asal Penuhi Kriteria

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Indonesia Ingin Jadi Anggota OECD, DJP: Prosesnya Sudah On Track

Jumat, 26 April 2024 | 09:50 WIB PEMERIKSAAN PAJAK

Terkait Transfer Pricing, Pemeriksaan Kantor Bisa Diubah ke Lapangan

Kamis, 25 April 2024 | 13:00 WIB KEANGGOTAAN OECD

OECD Rilis Roadmap Aksesi, Ada 8 Prinsip Pajak yang Perlu Diadopsi RI

BERITA PILIHAN