PERKEMBANGAN teknologi dan penetrasi internet yang masif di Indonesia dewasa ini mendorong masyarakat untuk bertransaksi secara online dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal ini terlihat dari berkembangnya bisnis dagangan elektronik (e-commerce) sebagai platform bisnis baru. Berdasarkan data yang dirilis Statista, penetrasi belanja online di Indonesia pada kuartal 2 tahun 2017 menempati peringkat ke lima secara global sebesar 79% di bawah Tiongkok, Korea Selatan, Inggris, dan Jerman.
Sementara berdasarkan sumber yang sama, nilai transaksi penjualan retail e-commerce di Indonesia pada 2017 mencapai US$7,056 miliar dan akan meningkat hingga USD16,475 miliar pada 2022. Badan Pusat Statistik mencatat sampai dengan Agustus 2017 nilai pembayaran transaksi online mencapai Rp248,2 triliun.
Dengan jumlah yang sedemikian besar, potensi pajak yang muncul dari transaksi e-commerce ini juga besar. Apalagi beberapa tahun ke depan tingkat penetrasi internet akan semakin besar dan terjadi pergeseran pola belanja masyarakat dari konvensional ke online.
Apa saja potensi pajak yang dapat digali dari transaksi e-commerce?
Secara umum, terdapat dua jenis pajak yang timbul atas transaksi perdagangan yaitu pajak penghasilan (PPh) dari kegiatan usaha penjual termasuk pemotongan/pemungutan PPh terhadap transaksi tertentu dan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan barang kena pajak (BKP)/jasa kena pajak (JKP).
Secara umum, pajak yang berlaku untuk transaksi e-commerce sama dengan pajak untuk pelaku perdagangan konvensional sehingga berlaku ketentuan yang sama dalam undang-undang perpajakan. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi E-Commerce, transaksi e-commerce dapat dibedakan menjadi empat yaitu online marketplace, classified ads, daily deals, dan online retail.
Online marketplace adalah tempat di mana anggota terdaftar dapat berjualan layaknya mall yang dikelola secara online. Penyelenggara menyediakan tempat bagi masyarakat untuk menjual barang dagangannya. Model ini sering disebut juga consumer to consumer model. Sedangkan online retail berarti penyelenggara website bertindak selaku merchant yang menjual secara langsung barang dagangannya. Model ini merupakan business to consumer model.
Classified Ads adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang konten (teks, grafik, video penjelasan, informasi, dan lain-lain) barang dan/atau jasa bagi pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara Classified Ads.
Adapun Daily Deals merupakan kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa situs Daily Deals sebagai tempat Daily Deals Merchant menjual barang dan/atau jasa kepada pembeli dengan menggunakan voucher sebagai sarana pembayaran.
Dalam transaksi jual beli pada online marketplace, terdapat banyak penjual yang merupakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebagian di antara penjual-penjual tersebut belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini menjadi tantangan bagi Ditjen Pajak untuk menggali data pelaku transaksi perdagangan elektronik.
Potensi PPh dari transaksi perdagangan elektronik dapat dilihat dari omzet setiap penjual yang terdaftar dalam online marketplace dan daily deals. Bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar setahun maka pajak yang dikenakan menggunakan tarif PPh Final sebagaimana diatur dalam PP No. 46 Tahun 2013.
Sedangkan wajib pajak dengan peredaran bruto dalam satu tahun lebih dari Rp4,8 miliar maka menggunakan tarif PPh sesuai pasal 17 UU PPh. Selain itu, wajib pajak dengan peredaran bruto lebih dari Rp4,8 miliar juga wajib mendaftarkan diri untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP wajib memungut PPN atas penyerahan BKP/JKP di dalam daerah pabean.
Potensi pajak atas transaksi e-commerce dengan model online retail dan classified ads relatif lebih mudah ditelusuri karena jumlah penyelenggara lebih sedikit dibandingkan pelaku online marketplace. Pengawasan cukup dilakukan terhadap penyelenggara kedua model transaksi perdagangan elektronik ini.
Lalu strategi apa saja yang dapat diterapkan Ditjen Pajak dalam menjaring pajak atas transaksi e-commerce?
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh Ditjen Pajak dalam menjaring pajak dari transaksi e-commerce. Berikut akan diuraikan satu per satu.
Pertama, pemerintah mewajibkan setiap online marketplace untuk memberikan data NPWP bagi akun yang terdaftar. Seseorang yang ingin mendaftar pada online marketplace harus menggunakan NPWP sebagai salah satu syaratnya. Kemudian pemerintah juga mewajibkan online marketplace untuk membuat laporan penjualan masing-masing akun setiap bulan.
Dengan demikian, Ditjen Pajak akan memperoleh tambahan wajib pajak yang belum memiliki NPWP dan mendapatkan laporan mengenai omzet masing-masing penjual. Data tersebut dapat menjadi sumber penggalian potensi bagi Ditjen Pajak dalam memajaki pelaku e-commerce.
Namun, masalah ini belum selesai. Tantangan selanjutnya adalah pelaku e-commerce yang menjajakan dagangannya melalui platform media sosial. Karena bukan merupakan online marketplace yang memang secara spesifik diselenggarakan dengan tujuan perdagangan, pemerintah sulit untuk mewajibkan para pelakunya memiliki NPWP dan melaporkan omzet penjualannya.
Kedua, untuk menangani hal ini, Ditjen Pajak dapat mengoptimalkan peran intelijen pajak dalam menggali potensi pajak pelaku e-commerce dari media sosial. Selain itu, Ditjen Pajak juga dapat mendorong para fiskus yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara untuk memberikan informasi terkait pelaku e-commerce media sosial. Informasi tersebut disampaikan melalui saluran internal Ditjen Pajak.
Ketiga, membentuk unit khusus untuk menangani transaksi e-commerce. Sebagaimana dilansir dari situs www.pajak.go.id, Ditjen Pajak akan membentuk unit khusus dalam menangani perpajakan e-commerce. Mengingat besarnya potensi pajak dari transaksi e-commerce dan pertumbuhan ke depan yang pesat, maka perlu unit khusus untuk menangani hal ini.
Ditjen Pajak telah memiliki Kantor Pengolahan Data Eksternal sebagai unit pelaksana teknis yang menangani pengolahan data dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP). Ke depan, unit ini dapat dikembangkan untuk menangani data transaksi e-commerce atau membentuk unit pelaksana teknis baru yang khusus menangani e-commerce.
Keempat, membuat Saluran Penyampaian Informasi Kegiatan Usaha. Selama ini Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan (KLIP) memberikan layanan kepada wajib pajak terkait konsultasi perpajakan dan layanan pengaduan. Nantinya Ditjen Pajak dapat membuka portal bagi masyarakat untuk memberikan informasi terkait bisnis online shopping yang booming di masyarakat.
Dalam hal ini, masyarakat diajak untuk memberikan kontribusi dalam penggalian data perpajakan. Selanjutnya Ditjen Pajak perlu melakukan verifikasi atas akun pengguna yang melakukan kegiatan usaha perdagangan elektronik.
Kelima, meningkatkan kerja sama dengan stakeholder dan instansi pemerintah lainnya. Ditjen Pajak dapat menjalin kerja sama dengan asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) dalam rangka memberikan sosialisasi dan edukasi aspek perpajakan bagi pelaku e-commerce.
Ditjen Pajak juga harus meningkatkan kerja sama dengan Badan Pusat Statistik, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, dan instansi pemerintah lain yang terkait dengan bisnis e-commerce dalam rangka harmonisasi kebijakan dan penggalian data perdagangan elektronik.
Keenam, membuat regulasi terkait grey area transaksi e-commerce. Peraturan yang ada selama ini sudah dapat digunakan untuk menggali pajak atas transaksi e-commerce. Tidak terdapat pajak baru yang muncul atas transaksi e-commerce. Namun, diperlukan peraturan khusus yang mengatur transaksi perdagangan elektronik terutama hal-hal yang belum diatur secara jelas.
Misalnya pembayaran ke penyelenggara perdagangan elektronik di luar negeri apakah diperlakukan seperti impor atau terdapat kewajiban bagi penyelenggara luar negeri untuk mendirikan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Selain itu, perlu diatur atau ditegaskan mekanisme pemotongan PPh Pasal 26 (jika terutang) terhadap pembayaran ke penyelenggara e-commerce di luar negeri.
Dengan menerapkan strategi-strategi tersebut, PPh dan PPN yang terutang atas transaksi e-commerce dapat dideteksi dan menambah penerimaan negara. Pada akhirnya, target penerimaan pajak diharapkan bisa tercapai dan kemandirian APBN di negeri ini dapat terwujud.*