Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah segera mengundangkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang diperlukan untuk menerapkan prinsip ultimum remedium atau sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam menangani pelanggaran di bidang cukai.
Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan RPP ultimum remedium di bidang cukai tinggal menunggu para menteri terkait sebelum ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo. Dia pun optimistis RPP tersebut segera diundangkan dan berlaku.
"Mudah-mudahan kalau semua menteri yang terkait sudah paraf, maka akan tinggal ditetapkan oleh presiden. Itu mekanismenya," katanya, dikutip pada Sabtu (28/10/2023).
Prinsip ultimum remedium dalam pelanggaran cukai telah diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam hal ini, pemerintah harus menerbitkan PP untuk mengimplementasikan ultimum remedium pada tahap penyidikan tindak pidana di bidang cukai.
PP ultimum remedium di bidang cukai disusun dengan melibatkan beberapa kementerian/lembaga sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikannya.
Nantinya, Kemenkeu juga akan menerbitkan PMK mengenai tata cara penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara, yang menjadi aturan turunan PP.
Melalui UU HPP, pemerintah merevisi UU 39/2007 tentang Cukai dan memperkenalkan prinsip ultimum remedium dalam menangani pelanggaran di bidang cukai. UU HPP juga mengatur penyesuaian sanksi administrasi dalam upaya pemulihan kerugian pendapatan negara pada saat penelitian dan penyidikan.
Melalui ketentuan dalam UU HPP, pejabat DJBC berwenang melakukan penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai. Dalam hal hasil penelitian merupakan pelanggaran administratif di bidang cukai, maka dapat diselesaikan dengan membayar sanksi administratif.
Penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai hanya dibatasi pada 5 pasal yaitu Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Cukai. Kelima pasal tersebut terkait dengan pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai.
Hasil penelitian yang tidak berujung pada penyidikan mewajibkan pelaku membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 3 kali jumlah cukai yang seharusnya dibayar.
Kemudian, perubahan juga terjadi pada Pasal 64 UU Cukai yang terkait dengan pemulihan kerugian pendapatan negara pada tahap penyidikan. Pada UU Cukai yang berlaku, penghentian penyidikan wajib membayar pokok cukai ditambah sanksi denda 4 kali cukai kurang dibayar.
Namun melalui UU HPP, pemulihan kerugian pendapatan negara saat tahap penyidikan dilakukan dengan membayar sanksi denda sebesar 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. Pelaku juga bisa terhindar dari pidana penjara saat perkara sudah masuk ke pengadilan dan sudah membayar sanksi administratif.
Sebelumnya pada akhir tahun lalu, Kemenkeu telah menerbitkan PMK 237/2022 yang memuat ketentuan teknis prinsip ultimum remedium terhadap pelanggaran di bidang cukai di tahap penelitian. Implementasi PMK 237/2022 juga telah berdampak pada realisasi denda administrasi cukai.
Hingga Agustus 2023, realisasi denda administrasi cukai tercatat sekitar Rp60 miliar atau tumbuh 97,33% dibandingkan dengan periode yang sama 2022, ketika angkanya sekitar Rp30 miliar. (sap)