PEMERINTAH berencana melakukan penyesuaian struktur pajak penghasilan (PPh) orang pribadi melalui RUU KUP. Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan usulan adanya tarif 35% untuk lapisan penghasilan kena pajak (tax bracket) baru senilai lebih dari Rp5 miliar.
Usulan tersebut didorong adanya keinginan untuk mewujudkan struktur PPh orang pribadi yang selaras dengan prinsip keadilan, ability to pay, serta menyasar high wealth individuals.
Tarif dan tax bracket memang merupakan dua instrumen dominan untuk menjamin progresivitas sistem PPh orang pribadi. Oleh karena itu, penyesuaian berkala atas keduanya merupakan sesuatu yang dibutuhkan (Gerber, Klemm, dan Mylonas, 2018).
Selain itu, kontribusi penerimaan PPh orang pribadi yang belum optimal serta berbagai rekomendasi tentang perlunya mendorong solidaritas orang kaya melalui sistem pajak juga menjadi justifikasi yang kuat. Simak ‘Menuju Tarif PPh Orang Pribadi Lebih Progresif’
Lantas, apakah rencana pemerintah atas pengenaan tarif tertinggi sebesar 35% tersebut selaras dengan tren global? Apakah penambahan tax bracket sehingga menjadi 5 lapisan juga sesuai dengan praktik internasional? DDTC Fiscal Research berupaya menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan dua sumber utama.
Pertama, kajian yang dilakukan oleh Peter, Buttrick, dan Duncan pada 2009 bertajuk Global Reform of Personal Income Taxation, 1981-2005: Evidence from 189 Countries. Temuan jurnal ini akan digunakan untuk memperlihatkan situasi pada 1985 dan 2000 atas 189 negara. Kedua, data IBFD Country Profile yang digunakan untuk ‘menangkap’ situasi pada 2020 atas 213 negara.
Dari sisi tren tarif tertinggi PPh orang pribadi selama 35 tahun, terdapat beberapa temuan menarik.
Pertama, pada umumnya tarif teratas PPh orang pribadi di berbagai negara pada 1985 masih sangat tinggi. Hal ini terlihat dari distribusi negara yang memiliki tarif lebih tinggi dari 40%, yaitu 46,3% negara sampel untuk tarif antara 41%-60% serta 25,3% negara sampel untuk tarif lebih dari 60%.
Menariknya, jumlah negara yang mengenakan tarif 0% atau tidak mengenakan PPh orang pribadi juga masih banyak. Hal ini diperlihatkan dari distribusinya yang sebesar 13,1% dari negara sampel.
Kedua, pada periode 1985-2000, terdapat perubahan drastis. Banyak negara justru menurunkan tarif tertinggi PPh orang pribadinya. Jurus supply side tax policy melalui pemotongan tarif yang diinisiasi Presiden Reagan dan Perdana Menteri Thatcher menjadi dorongan. Skenario dual income tax—yang membedakan perlakuan pajak antara penghasilan dari kegiatan kerja dan modal—juga turut berpengaruh.
Hasilnya, negara yang mengenakan tarif tertinggi PPh orang pribadi di atas 40% berkurang secara drastis. Hal ini terlihat dari distribusi negaranya yang kian rendah dan justru beralih ke tarif lebih rendah dari 40%.
Ketiga, saat ini (2020), tarif tertinggi PPh orang pribadi justru berada di kisaran 21%-40%. Tidak ada lagi negara yang mengenakan tarif tertinggi di atas 60%. Kelompok terbanyak justru ada pada negara dengan tarif tertinggi dalam rentang 31%-40%.
Di sisi lain, kerja sama pencegahan penghindaran pajak, pertukaran informasi, serta perlawanan terhadap harmful tax competition kian meningkat. Hal ini agaknya menjadi alasan kian sedikitnya negara dengan tarif 0% atau tidak mengenakan PPh orang pribadi dalam ketentuan domestik mereka.
Keempat, dapat disimpulkan penetapan tarif tertinggi PPh orang pribadi bersifat konvergen dan mengarah pada titik tengah. Pada 1985 puncak distribusi tarif tertinggi berada di titik-titik yang ekstrem – baik 0% maupun lebih dari 40% -- kini justru mengarah ke tarif tertinggi antara 21% hingga 40%.
Di sisi lain, tren kebijakan penetapan jumlah lapisan penghasilan kena pajak juga memberikan beberapa temuan menarik.
Pertama, pada 1985, mayoritas negara di dunia masih memiliki banyak lapisan penghasilan kena pajak. Ini dapat dilihat dari tingginya negara yang memiliki lebih dari 6 tax bracket yang distribusinya lebih dari 75%.
Kelompok terbanyak justru negara yang memiliki 10 hingga 19 tax bracket yang distribusinya sebesar 41,2% dari 189 negara yang disurvei.
Kedua, seiring berjalannya waktu, terdapat kecenderungan untuk membuat struktur PPh orang pribadi makin sederhana dan tidak menimbulkan distorsi perilaku. Hal tersebut ditunjukkan dari perubahan drastis pada 2000. Negara yang memiliki tax bracket antara 4 hingga 9 lapisan justru kian banyak.
Tren ini relatif bertahan hingga kini. Pada 2020, distribusi tertinggi ada pada negara yang memiliki 4 hingga 5 tax bracket dalam struktur PPh orang pribadi.
Bagi Indonesia, tren tarif tertinggi serta jumlah tax bracket tersebut tentu bisa menjadi pertimbangan. Sejauh ini, rencana pemerintah untuk menambah tax bracket menjadi 5 lapisan serta memperkenalkan tarif tertinggi sebesar 35% adalah sesuatu yang selaras dengan international benchmarking. (kaw)