Ilustrasi. Gedung Kemenkeu. (Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menyebut upaya pengembalian defisit anggaran menjadi di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023 cukup menantang. Apalagi pada tahun ini defisit diperkirakan mencapai 6,34% terhadap PDB.
Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan penurunan defisit anggaran kembali ke disiplin 3% terhadap PDB berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi. Dengan menurunkan defisit anggaran, otomatis pemerintah menurunkan alokasi belanja pada anggaran. Hal ini yang dimitigasi pemerintah.
“Pada KEM-PPKF 2021 asumsi defisit maksimal 4,17% dari PDB. Itu setara dengan dengan pengeluaran sebesar Rp2.400 triliun. Dari situ kita merencanakan pengeluaran pemerintah turun, tapi jangan sampai pemerintah menjadi sumber perlambatan pertumbuhan ekonomi," kata Febrio dalam sebuah diskusi, seperti dikutip pada Senin (29/6/2020).
Dengan risiko tersebut, pemerintah akan berupaya mendorong investasi swasta agar bisa tumbuh hingga 6% seperti yang terjadi pada 2018. Diharapkan, investasi meningkat sehingga bisa mengkompensasi berkurangnya nilai belanja negara sebagai stimulus perekonomian.
“Pemerintah harus sedikit mundur untuk mengelola fiskal, tapi pemerintah juga harus memastikan ruang swasta besar sehingga investasi meningkat. Inilah tantangan kita sekarang," tambah Febrio.
Dari sisi fiskal, Febrio mengungkapkan defisit fiskal pada 2020 pada gilirannya diikuti dengan peningkatan rasio utang terhadap PDB dari sekitar 30% pada 2019 menjadi 37% pada 2020. Adapun defisit keseimbangan primer juga melonjak ke Rp700 triliun.
Akibatnya, alokasi bunga utang yang perlu dikeluarkan oleh pemerintah diproyeksikan naik. Porsi bunga utang terhadap belanja negara yang secara rata-rata mencapai 12% pun meningkat menjadi 17%.
"Dengan burden sharing bersama Bank Indonesia mungkin tidak separah 17%, tetapi itulah biaya beban bunga utang dan ini bisa menjadi beban kita ke depan kalau PDB tidak tumbuh cepat," kata Febrio.
Biaya bunga utang yang tinggi tersebut pun bakal semakin mempersempit ruang fiskal pemerintah. Daya dorong instrumen fiskal terhadap perekonomian bisa semakin terbatas. Apalagi, selain bunga utang, terdapat belanja lain yang sudah ditentukan porsinya pada undang-undang, seperti belanja pendidikan dan kesehatan. (kaw)