Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) akan melakukan pembaruan aplikasi e-bupot 21/26. Salah satu pembaruan itu berkaitan dengan pembatasan akses untuk merespons isu kerahasiaan data penghasilan atau gaji. Hal tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (25/1/2024).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Dwi Astuti mengatakan nantinya, e-bupot 21/26 akan memuat fitur user perekam. Adapun user perekam dirancang hanya bisa mengakses e-bupot 21/23 secara terbatas.
“Saat ini, fitur terkait user perekam pada aplikasi e-bupot 21/26 sedang disusun. Untuk itu, mohon kesediaannya untuk menunggu peluncuran update aplikasi agar dapat mengetahui detail fitur tersebut,” ujar Dwi.
Berdasarkan pada informasi dalam Petunjuk Penggunaan Aplikasi e-Bupot 21/26 yang dirilis DJP, user perekam nantinya akan mendapatkan username, password, dan tautan khusus yang terpisah dari DJP Online. Kewenangan user perekam dibatasi tidak sebanyak kewenangan user utama.
“Penyediaan menu perekam merupakan solusi terkait isu kerahasiaan data pemotongan PPh,” tulis DJP.
Selain mengenai e-bupot 21/26, ada pula ulasan terkait dengan dampak dari pemberlakuan pajak minimum global terhadap kebijakan insentif pajak, terutama tax holiday.
Nantinya, pendaftaran user perekam hanya dapat dilakukan oleh wajib pajak badan. Ketentuannya, user perekam tersebut sudah memiliki identitas berupa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), email, dan password yang sudah ditentukan sebelumnya.
User perekam yang sudah didaftarkan akan divalidasi oleh sistem. Kemudian, atas pendaftaran tersebut, sistem akan mengirimkan bukti pendaftaran melalui email. Bagi wajib pajak yang berhasil didaftarkan sebagai perekan, sistem akan mengirimkan email berisi username dan password.
“Username dan password tersebut digunakan oleh user perekam untuk login ke laman khusus perekam bukti potong 21/26 yaitu https://perekamebupot2126.pajak.go.id,” tulis DJP dalam Petunjuk Penggunaan Aplikasi e-Bupot 21/26. (DDTCNews)
Pemotong pajak yang tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 sesuai dengan ketentuan bisa dianggap tidak menyampaikan SPT dan dikenakan sanksi. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) PER-2/PJ/2024.
Pasal tersebut mengacu pada pemotong pajak yang diwajibkan membuat bukti pemotongan (bupot) PPh Pasal 21/26 dan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dalam bentuk elektronik, tetapi tidak menyampaikan SPT PPh Masa Pasal 21/26 dalam bentuk dokumen elektronik.
“Pemotong pajak dianggap tidak menyampaikan SPT Masa … dalam hal pemotong pajak memenuhi ketentuan …, tetapi tidak menyampaikan SPT Masa … dalam bentuk dokumen elektronik,” bunyi Pasal 10 ayat (1) PER-2/PJ/2024. Simak pula ‘Tak Sesuai Ketentuan, SPT Masa PPh 21/26 Bisa Dianggap Tak Disampaikan’. (DDTCNews)
Aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21/26 masih dapat diakses meski saat ini sudah tersedia e-bupot 21/26. Aplikasi e-SPT masih dapat diakses untuk pembuatan, penyampaian, dan/atau pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21/26 sampai dengan masa pajak Desember 2023.
"Untuk itu, e-SPT masih dapat diakses untuk pelaporan SPT masa pajak sebelum Januari 2024," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti. (DDTCNews)
Pengguna e-bupot 21/26 wajib mengisi nama penandatangan sebelum membuat bukti pemotongan pajak. Untuk mendaftarkan nama penandatangan bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, pengguna dapat menggunakan submenu Penandatangan pada menu Pengaturan.
“Nama penandatangan wajib diisi sebelum membuat bukti potong,” tulis DJP dalam Petunjuk Penggunaan Aplikasi e-Bupot 21/26. (DDTCNews)
Meskipun Indonesia dan beberapa negara akan memberlakukan pajak minimum global sesuai dengan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) mulai tahun ini, menurut Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, insentif pajak tetap perlu diberikan. Insentif itu terutama tax holiday.
“Saya agak berbeda dengan Ibu Menkeu [Sri Mulyani Indrawati] ya. Kalau kita dari Kementerian Investasi itu bagaimana memancing orang datang. Harus ada sweetener. Lalu sweetener apa yang paling pas untuk negara kita? Tax holiday,” ujar Bahlil. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengatur kembali ketentuan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Pengaturan kembali tersebut dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta 1/2024.
Perda tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Melalui beleid yang berlaku sejak 5 Januari 2024 tersebut, Pemprov DKI Jakarta di antaranya menetapkan tarif pajak daerah.
“… berdasarkan ketentuan Pasal 94 UU 1/2022 tentang HKPD, untuk seluruh jenis pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam 1 peraturan daerah dan menjadi dasar pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di daerah,” bunyi pertimbangan Perda Provinsi DKI Jakarta 1/2024.
Secara lebih terperinci, Perda Provinsi DKI Jakarta 1/2024 memuat tarif atas 10 jenis pajak daerah yang menjadi wewenang pemerintah provinsi. Simak ‘Ini 10 Jenis Pajak Daerah dan Tarifnya di Provinsi DKI Jakarta’. (DDTCNews) (kaw)