Konferensi pers oleh Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi.Â
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea Cukai (DJBC) kembali melakukan penindakan pada awal tahun fiskal 2020. Kali ini, pelaku impor barang palsu menjadi sasaran target operasi otoritas.
DJBC berhasil menangkap barang impor tiruan/pemalsuan merek yang dilakukan oleh PT PAM di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya Jawa Timur. Penindakan DJBC dilakukan terhadap impor satu kontainer yang berisi 858.240 buah pulpen palsu merek Standard AE7.
"Perkiraan nilai barang berkisar Rp1,09 miliar yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya tanggal 06 Desember 2019," tulis keterangan resmi DJBC, Kamis (9/1/2020).
Penegakan hukum ini merupakan buah kerja sama antara DJBC dengan Kemenkum HAM, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Polri. Adapun penindakan dalam ranah perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) ini merupakan yang kali pertama dilakukan sejak UU No.17/2006 tentang kepabeanan disahkan.
Hal ini tidak lepas dari telah diimplementasikannya border measure HKI secara penuh pada 2018. Sistem tersebut berjalan secara otomatis dan digunakan untuk kepentingan pengawasan lalu lintas barang HKI. Sistem tersebut mengintegrasikan data di DJBC, MA, Kejaksaan Agung, dan Ditjen Kekayaan Intelektual dan Pengadilan Niaga Kemenkumham.
"Keberhasilan penangkapan ini juga tidak lepas dari keberanian pemilik/pemegang merek karena yang bersangkutan sebelumnya telah melakukan perekaman/rekordasi dalam sistem otomasi kepabeanan barang-barang HKI," sambungnya.
Adapun kasus bermula dari analisis transaksi impor yang dilakukan DJBC atas importasi PT PAM yang diduga melanggar HKI. DJBC menotifikasi kepada pemilik merek PT Standardpen Industries (PT SI) karena merek tersebut telah terekam dalam sistem otomasi kepabeanan barang-barang HKI.
Kemudian, PT SI memberikan konfirmasi bahwa PT SI setuju dilakukan proses penangguhan sementara ke Pengadilan Niaga untuk dilakukan pemeriksaan bersama terkait keaslian atas merek barang tersebut dengan menyerahkan jaminan bank yang dipersyaratkan ke Bea Cukai Tanjung Perak.
Alhasil, pemeriksaan bersama dilakukan oleh Hakim Pengadilan Niaga, panitera, Bea Cukai, saksi ahli, pemohon (PT SI), dan termohon (PT PAM). Hasil pemeriksaan bersama tersebut digunakan sebagai dasar untuk memutuskan asli tidaknya merek tersebut melalui proses Pengadilan Niaga. Sebagai pemegang merek dan HKI, PT SI memiliki tiga opsi jalur hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Pertama, melaporkan tindakan pelanggaran merek HKI ke PPNS Ditjen Kekayaan Intelektual atau Penyidik Polri. Melalui opsi ini, terdapat mekanisme sanksi pasal 99 UU No.20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 Miliar.
Kedua, penyelesaian secara perdata dengan melaporkan ke Pengadilan Niaga Surabaya. Ketiga, dengan penyelesaian melalui alternative dispute resolution antara pemilik/pemegang merek dengan importir atau pelaku pelanggaran HKI.
“Penindakan atas barang impor/ekspor yang melanggar HKI sangat penting dalam melindungi industri dalam negeri terutama pemilik/pemegang merek/hak cipta maupun industri kreatif dalam negeri agar dapat tumbuh dan memiliki daya saing sehingga dapat berkontribusi kepada negara melalui pembayaran pajak," terangnya. (kaw)