KONSULTASI PAJAK

Aturan Baru Pengkreditan Pajak Masukan Bagi PKP Belum Berproduksi

Redaksi DDTCNews
Rabu, 25 November 2020 | 15.33 WIB
ddtc-loaderAturan Baru Pengkreditan Pajak Masukan Bagi PKP Belum Berproduksi
DDTC Fiscal Research

Pertanyaan:
PERKENALKAN, saya manajer akuntansi dan pajak di perusahaan yang bergerak di bidang pabrikan makanan kaleng. Saya ingin bertanya, setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, bagaimana perubahan mekanisme pengkreditan pajak masukan atas perusahaan yang belum beroperasi? Perusahaan kami berencana mendirikan anak perusahaan yang dikhususkan untuk produksi minuman kaleng. Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Dimas, Jakarta.

Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Dimas atas pertanyaannya. Seperti yang diketahui bersama, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). UU Ciptaker merupakan omnibus law yang mengubah beberapa undang-undang sekaligus, termasuk di antaranya UU PPN yang diatur dalam Pasal 112 UU Ciptaker.

Sebelumnya, ketentuan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang belum berproduksi diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) UU PPN. Dalam Pasal tersebut, pajak masukan yang dapat dikreditkan hanya atas perolehan dan/atau impor barang modal.

Selain itu, ditegaskan pula perolehan barang kena pajak (BKP) selain barang modal atau jasa kena pajak (JKP) sebelum PKP berproduksi tidak dapat dikreditkan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf j UU PPN.

Lalu, PKP dapat mengajukan restitusi atas kelebihan pajak masukan pada setiap masa pajak sesuai dengan Pasal 9 ayat (4b) huruf f UU PPN. Terakhir, Pasal 9 ayat (6a) UU PPN mengatur pajak masukan, yang telah dikreditkan dan telah direstitusi, wajib dibayar kembali apabila PKP tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama tiga tahun sejak masa pajak pengkreditan pajak masukan dimulai. Detail teknisnya diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK) sesuai Pasal 9 ayat (6b) UU PPN.

Setelah berlaku per 2 November 2020 maka Pasal 112 UU Ciptaker mengubah beberapa ketentuan dalam UU PPN, termasuk di antaranya Pasal 9.

Adapun perubahan pertama yang perlu kita amati adalah terkait Pasal 9 ayat (6b) UU PPN yang telah dihapus. Artinya, ketentuan detail teknis tentang pengkreditan pajak masukan bagi PKP yang belum berproduksi tidak lagi diatur oleh PMK, tetapi diatur sepenuhnya dalam UU PPN ini.

Setelah itu, barulah kita mencermati Pasal 9 ayat (2a) UU PPN pascaberlakunya UU Ciptaker. Berdasarkan pasal tersebut, bagi PKP yang belum melakukan penyerahan maupun ekspor BKP dan/atau JKP, pajak masukan – atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean –dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan UU ini.

Berdasarkan ketentuan di atas, pengkreditan pajak masukan berlaku untuk seluruh BKP dan/atau JKP, tidak hanya terbatas pada perolehan dan/atau impor barang modal. Hal ini selaras dengan penghapusan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf j UU PPN pascaberlakunya UU Ciptaker.

Selanjutnya, ketentuan dalam Pasal 9 ayat (4b) huruf f UU PPN tentang pengajuan restitusi atas kelebihan pajak masukan pada setiap masa pajak juga dihapus. Artinya, pengajuan restitusi hanya dapat dilakukan pada akhir tahun buku sesuai Pasal 9 ayat (4a) UU PPN.

Kemudian, Pasal 9 ayat (6a) UU PPN juga mengalami perubahan. Apabila sampai dengan jangka waktu tiga tahun – sejak masa pajak pengkreditan pertama kali pajak masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) – PKP belum melakukan penyerahan maupun ekspor BKP dan/atau JKP terkait dengan pajak masukan tersebut, pajak masukan yang telah dikreditkan dalam jangka waktu tiga tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.

Namun, sesuai ketentuan dalam pasal tersebut, bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari tiga tahun sesuai Pasal 9 ayat (6c) UU PPN. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi PKP yang melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha, melakukan pencabutan PKP, atau dilakukan pencabutan PKP secara jabatan dalam jangka waktu tiga tahun sejak masa pajak pengkreditan pertama kali pajak masukan sesuai Pasal 9 ayat (6d) UU PPN.

Selanjutnya, Pasal 9 ayat (6e) UU PPN mengatur pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a):

  1. wajib dibayar kembali ke kas negara oleh PKP, dalam hal PKP:
  1. telah menerima restitusi atas pajak masukan dimaksud; dan/atau
  2. telah mengkreditkan pajak masukan dimaksud dengan pajak keluaran  yang terutang dalam suatu masa pajak; dan/atau
  1. tidak dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian setelah jangka waktu tiga tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berakhir atau pada saat pembubaran (pengakhiran) usaha atau pencabutan PKP – sebagaimana dimaksud pada ayat (6d) oleh PKP –, dalam hal PKP melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud.

Kemudian, Pasal 9 ayat (6f) UU PPN mengatur pembayaran kembali pajak masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a dilakukan paling lambat:

  1. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu tiga tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a);
  2. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c); atau
  3. akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau pencabutan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (6d).

Terakhir, Pasal 9 ayat (6g) UU PPN mengatur dalam hal PKP tidak melaksanakan kewajiban pembayaran kembali sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6f), dirjen pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a oleh PKP, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2a) UU KUP.

Demikian jawaban kami. Semoga membantu.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.