PADA 1 hingga 3 Desember 2016, Foundation for International Taxation (FIT) India bekerja sama dengan International Bureau Fiscal Documentation (IBFD) mengadakan International Taxation Conference dengan tema ‘BEPS and Beyond BEPS: A Year Later’. Dari Indonesia, DDTC yang diwakili B. Bawono Kristiaji menjadi salah satu pembicara di konferensi tersebut. Berikut bagian kedua dari laporannya:
Situasi ekonomi global diperkirakan belum membaik hingga lima tahun ke depan. Defisit anggaran masih menjadi masalah pelik pengelolaan keuangan baik di negara maju, negara berkembang maupun negara yang berbasis komoditas. Lesunya ekonomi telah menciptakan penurunan penerimaan pajak.
Di tengah situasi tersebut, praktik BEPS jelas semakin menyulitkan upaya memobilisasi penerimaan. Keberhasilan implementasi Program Anti-BEPS bisa memecahkan kebuntuan tersebut. Akan tetapi, jalan masih panjang, penuh ketidakpastian dan ada variabel-variabel pendukung lainnya. Inilah hal yang menjadi topik bahasan di hari pertama konferensi.
Melawan Ketidakpastian
Program Anti-BEPS jelas menciptakan suatu ketidakpastian baru. Upaya mengadopsi dan mengimplementasikannya akan merubah lanskap sektor pajak baik di level domestik maupun internasional.
Menurut Jeffrey Owens, direktur dari WU Global Tax Policy Center, ketidakpastian yang ditimbulkan oleh Program Anti-BEPS di sektor ekonomi sebenarnya tidak perlu ditakutkan. Daya tarik suatu negara bukanlah semata-mata ditentukan oleh sistem pajak. Pun, jika ya, masih banyak elemen pajak lainnya yang turut memengaruhi seperti: kerumitan sistem, rezim tarif, dan sebagainya.
Untuk mencegah ketidakpastian, beberapa langkah perlu dilakukan dalam menyambut Program Anti-BEPS mulai dari partisipasi sektor bisnis dalam desain kebijakan, rancangan hukum yang jelas dan konsisten, kepatuhan kooperatif, hingga mencari model penyelesaian sengketa yang efisien serta memberikan kepastian hukum.
Tidak hanya itu, upaya membentuk kepastian juga bisa diletakkan dalam konteks yang lebih makro. Pemerintah harus berani mendesain ulang sistem pajak untuk menciptakan pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkesinambungan. Prinsip-prinsip yang wajib diadopsi dalam desain baru tersebut paling tidak mencakup: upaya memperluas basis pemajakan, mempertimbangkan progresivitas sistem pajak, mampu mengubah perilaku, serta memperbaiki kualitas kebijakan dan administrasi pajak.
Keterbukaan Informasi
Transparansi mendapat porsi yang tidak kalah penting dalam Program Anti-BEPS. Dalam hal ini Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes memainkan peranan sentral guna menjamin kerangka pertukaran informasi untuk menangkal BEPS.
Skema pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEOI) merupakan model yang dianggap ideal dalam mendukung upaya implementasi Program Anti-BEPS sekaligus melawan praktik penghindaran pajak. Paling tidak terdapat empat alasan.
Pertama, pertukaran dokumentasi transfer pricing yang berupa Country by Country Reporting (CbCR) serta ketentuan pajak (untuk melawan praktik kompetisi pajak yang tidak sehat) akan menjamin konsistensi perilaku wajib pajak. Kedua, otoritas pajak dapat memiliki gambaran yang lebih komprehensif mengenai kondisi wajib pajak sehingga memiliki kualitas audit yang lebih baik. Ketiga, mengurangi informasi asimetri antarotoritas pajak. Lalu keempat, AEOI dapat mendorong skema pertukaran informasi lainnya jika diperlukan suatu penilaian lebih lanjut atas wajib pajak tertentu.
Lebih dari 100 negara telah berkomitmen untuk menerapkan AEOI di tahun 2017 dan 2018. Namun bukan berarti implementasinya akan berjalan dengan mulus. Sebab, belum seluruh negara memiliki ketentuan domestik yang mendukung, misalkan belum mengadopsi common reporting standard (CRS) atau terbatasnya akses informasi yang dimiliki otoritas.
Selain itu, status perjanjian internasional sebagai dasar hukum AEOI. Isunya tidak hanya persoalan mengenai produk hukum apa yang dipergunakan, tetapi juga persoalan jika terjadi pelanggaran komitmen pertukaran informasi. Lalu, perdebatan atas jaminan kerahasiaan data dan informasi wajib pajak. Terakhir, persoalan infrastruktur dan teknologi.
Instrumen Multilateral untuk Mengakselerasi Perubahan
Pada dasarnya, implementasi Program Anti-BEPS dapat dilakukan melalui regulasi domestik maupun bilateral tax treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B). Terdapat beberapa Rencana Aksi yang nantinya akan merubah isi dari P3B yakni yang terkait dengan hybrid mismatch (Aksi 2), mencegah penyalahgunaan P3B (Aksi 6), status Bentuk Usaha Tetap/BUT (Aksi 7), serta efektivitas penyelesaian sengketa pajak (Aksi 14).
Pertanyaannya adalah seberapa cepat rekomendasi tersebut bisa diimplementasikan pada lebih dari 3.500 P3B di seluruh dunia? Padahal, negosiasi P3B bisa saja memakan waktu bertahun-tahun. Untuk itulah, dibutuhkan suatu kerangka instrumen multilateral yang nantinya dapat secara otomatis merubah isi dari P3B tersebut seperti tertuang dalam Rencana Aksi 15 Program Anti-BEPS.
Dalam rangka mengakselerasi perubahan, tahun lalu Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 telah memberikan mandat untuk diadakannya suatu konvensi multilateral yang membahas instrumen yang dapat disepakati bersama. Hal ini tidaklah mudah. Di satu sisi, terdapat berbagai variasi P3B dan preferensi yang berbeda-beda dari tiap negara. Di sisi lain, instrumen perubahan itu nantinya harus memberikan kepastian serta dapat dilakukan secara efisien.
Lebih dari 100 negara baik anggota G20, OECD, maupun negara-negara lainnya, akhirnya telah menyetujui suatu kesepakatan dalam Konvensi Multilateral untuk Implementasi P3B yang terkait dengan BEPS pada tanggal 24 November lalu. Melalui situs resmi OECD, Angel Gurria, Sekretaris Jenderal OECD menyatakan bahwa kesepakatan berbentuk instrumen multilateral tersebut akan sangat membantu negara agar energinya tidak terkuras dalam upaya negosiasi maupun renegosiasi P3B.
Implementasi instrumen multilateral agaknya bukan suatu hal yang mustahil mengingat pembahasannya dilakukan secara inklusif. OECD sendiri akan menjadi pihak yang mengawal dan membantu negara-negara dalam proses penandatanganan, ratifikasi, dan implementasinya.
Pada tanggal 5 Juni 2017 diharapkan banyak negara yang akan berpartisipasi dalam seremonial penandatanganan instrumen tersebut. Namun, siapa yang tahu? (Bersambung ke Bagian 3)*