JAKARTA, DDTCNews - Melanjutkan episode sejarah kelam pajak di Inggris sebagaimana yang ditulis oleh Martin Daunton, episode kali ini mengangkat topik sejarah kelam pajak penghasilan yang diterapkan tahun 1799.
Pajak tanah yang diberlakukan di Inggris mengenakan pajak atas dasar jumlah tetap dan tidak bersifat elastis terhadap kenaikan nilai tanah pada abad ke-18. Akibatnya, penerimaan pajak tanah tidak memadai bagi pemerintah. Akhirnya, pengenaan cukai menjadi andalan bagi pemerintah untuk menyokong kebutuhan penerimaan pemerintah. Namun, pengenaan cukai tidak dapat menutupi kekurangan penerimaan (shortfall).
Besarnya kebutuhan biaya perang dengan Prancis menyebabkan pemerintah Inggris memerlukan cara lain untuk memungut pajak dari para pemilik tanah yang makmur. Para pemilik tanah ini mendapat penghasilan yang berlimpah atas hasil bahan mentah dan makanan dari perkebunan mereka.
Pada tahun 1798, Perdana Menteri William Pitt, mencoba menggali lebih banyak uang pajak melalui ‘triple assessment’. Yaitu, menaikkan assessed taxes sebagai bentuk pajak atas penghasilan dan meminta pemilik tanah yang kurang membayar pajak (undertaxed) untuk memberikan kontribusi sukarela.
Akan tetapi, semua langkah tersebut tidak menghasilkan cukup penerimaan untuk membiayai perang. Pada 1799, Pitt beralih ke jenis pajak yang dicap paling buruk, yaitu pajak penghasilan.
Pajak penghasilan adalah langkah yang diambil di masa perang. Pajak penghasilan tidak berlaku ketika perdamaian ditandatangani pada 1802. Pajak penghasilan diterapkan lagi ketika perang timbul lagi pada 1803.
Politisi radikal Francis Burdett dengan tegas menyatakan bahwa “Pajak penghasilan telah menciptakan kekuasaan menyelidik (inquisitorial) yang sifatnya paling ofensif dan kejam ... Pencabutan pajak ini bukan solusi yang memadai untuk keburukannya, prinsipnya harus distigmatisasi dan dicap buruk.”
Pengaruh keluhan Burdett berkurang karena pemungutan pajak dilakukan oleh komisioner yang berasal dari komunitas lokal yang merupakan bagian dari masyarakat pembayar pajak dan bukan birokrat negara.
Namun, pada tahun 1814, Board of Inland Revenue mengambil langkah yang membawa malapetaka, yaitu menskor komisioner di City of London dengan alasan berkolusi melakukan penggelapan pajak. Hal ini merupakan serangan terhadap kebebasan warga negara. Permusuhan itu “seperti jabatan algojo, hanya penolakan masyarakat yang dapat menugaskan” para pemungut pajak.
Selanjutnya, pajak penghasilan tidak dapat dilanjutkan setelah perang dan berakhir pada tahun 1816. Semua catatan administrasi dibakar sehingga pajak penghasilan tidak akan diperkenalkan lagi.
Hilangnya penerimaan pajak penghasilan dan kegagalan menaikkan pajak tanah mengakibatkan pemilik tanah yang kaya tidak membayar pajak dengan adil sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara itu, konsumen dan industrialis dikenakan pajak yang lebih besar untuk membayar utang negara.
Akibatnya, timbul kemarahan radikal sehingga pajak penghasilan diterapkan lagi untuk sementara waktu pada tahun 1842 dan terus bertahan sejak itu.
Penerimaan dari pajak penghasilan memungkinkan pengenaan bea cukai atas teh, gula, dan tembakau diturunkan. Akibatnya, orang miskin dapat merasakan manfaat dari penurunan bea cukai tersebut. Jadi, alih-alih sebagai sarana untuk penindasan, akhirnya pajak penghasilan diterima sebagai tanda bahwa masyarakat Inggris adil dan inklusif.
Demikian sejarah kelam pajak penghasilan sebagaimana dilansir dalam historyextra.com. Nantikan episode berikutnya.