MYANMAR

Wah, Ada Kudeta, Seruan Boikot Pajak Kian Kencang

Dian Kurniati | Sabtu, 13 Maret 2021 | 10:01 WIB
Wah, Ada Kudeta, Seruan Boikot Pajak Kian Kencang

Mahasiswa di Myanmar melakukan demonstrasi serentak di Yangon (7/2/2021), mengecam kudeta yang dilakukan junta militer terhadap pemerintahan sipil yang sah. (Foto: 6park.news)

NAYPYIDAW, DDTCNews - Beberapa organisasi di Myanmar semakin ramai menyerukan kampanye agar masyarakat tidak membayar pajak kepada pemerintahan militer, setelah kudeta terhadap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.

Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw/CRPH) merilis pernyataan berisi desakan agar Kementerian Keuangan menghentikan pungutan, termasuk pajak dan bea cukai, hingga 30 September 2021.

Pyidaungsu Hluttaw adalah Ketua Parlemen Persatuan Myanmar, yang beberapa anggotanya dilarang menduduki kursinya oleh militer. "Masing-masing kementerian yang memungut berbagai pajak harus melakukan penangguhan pembayaran," bunyi pernyataan itu, dikutip Senin (8/3/2021).

Baca Juga:
Pegawai Pajak Mogok Kerja, Lowongan Dibuka Besar-besaran

Anggota parlemen yang terpilih dalam pemilu 2020 tersebut mengadakan upacara pelantikan sendiri dalam waktu seminggu setelah kudeta dan membentuk CRPH, dan mendeklarasikan diri sebagai Parlemen Serikat pekan lalu.

CRPH kemudian menunjuk empat "pejabat menteri" untuk memimpin sembilan kementerian, karena militer telah menahan Presiden U Win Myint, Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi, dan menteri lainnya.

Mereka juga menyetujui amandemen UU Perpajakan Serikat, yang mewajibkan penangguhan pengumpulan pajak. UU tersebut sebelumnya disetujui parlemen pada Agustus 2020 untuk tahun fiskal 2020-2021, yang dimulai pada Oktober 2020 hingga September 2021.

Baca Juga:
Kudeta di Myanmar, Presiden AS Bekukan Dana Sekitar Rp14 Triliun

CRPH mengatakan penangguhan pengumpulan pajak akan mencegah dewan pemerintahan rezim menyalahgunakan uang publik untuk mendanai pembunuhan para pengunjuk rasa yang menentang kudeta.

Selain itu, amendemen juga bertujuan membantu bisnis domestik menghadapi kerugian selama pandemi Covid-19. Kebijakan itu mengikuti sikap Partai NLD yang memberi penundaan pembayaran pajak penghasilan dan pajak komersial untuk bisnis yang terdampak pandemi sejak Maret 2020.

Pejabat menteri Kantor Presiden juga menyatakan akan ada sanksi yang dijatuhkan kepada pegawai negeri sipil yang gagal menegakkan perintah amandemen dan menarik pajak. "Tindakan akan diambil sesuai dengan hukum yang ada," bunyi pernyataan tersebut.

Baca Juga:
Kudeta di Myanmar, World Bank Khawatirkan Hal Ini

Dilansir irrawaddy.com, pegawai negeri sipil di bidang kesehatan, pendidikan, energi, informasi, dan luar negeri, serta kepolisian telah bergabung melawan pemerintahan militer. Masyarakat juga menyuarakan desakan boiokt pajak hingga pemulihan pemimpin negara secara demokratis.

Sebelumnya, Publish What You Pay (PWYP) juga menyuarakan hal serupa setelah Aliansi Myanmar untuk Transparansi dan Akuntabilitas meminta perusahaan multinasional yang beroperasi di negara itu tidak membayar pajak.

Lembaga swadaya masyarakat itu mengatakan perusahaan multinasional termasuk yang berkontribusi besar pada pemerintahan Myanmar, terutama dari sektor minyak dan gas (migas). (Bsi)

Perusahaan migas harus "segera menghentikan pembayaran atas pendapatannya kepada militer," kata mereka, dikutip dari guardian.com.

Industri migas menyumbang penerimaan rata-rata US$900 juta atau Rp12,9 triliun per tahun kepada pemerintah Myanmar. Misalnya perusahaan migas asal Prancis, Total, melaporkan telah membayar €229,6 juta atau Rp3,9 triliun pada 2019 bentuk pajak dan royalti kepada pemerintah.


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN