KONSULTASI PAJAK

Upaya Administratif atas SKP PBB

Kamis, 20 Oktober 2016 | 15:35 WIB
Upaya Administratif atas SKP PBB

Puput Bayu Wibowo,
DDTC Consulting

Pertanyaan:

PERUSAHAAN kami telah memenuhi kewajiban pajak PBB dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek (SPOP) Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Selanjutnya pihak KPP menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB (SPPT PBB). Atas dasar SPPT PBB tersebut PT A membayarkan dan melaporkan kewajiban pajak terutang sesuai yang tertera dalam SPPT PBB.

Kantor Wilayah PDJP (Kanwil DJP) selanjutnya melakukan penelitian atas SPPT PBB yang telah diterbitkan oleh PT B, berdasarkan hasil penelitian tersebut Kanwil DJP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP PBB) yang mengakibatkan jumlah PBB terutang menjadi lebih besar sehingga menyebabkan PT A menjadi kurang bayar atas penyetoran yang sudah dilakukan.

Yang menjadi pertanyaan saya, jika kami tidak menyetujui penerbitan SKP PBB tersebut, apakah kami dapat menolak atau terdapat upaya lain yang bisa kami lakukan?

Kartini, Kalimantan Barat.

Jawaban:

TERIMA kasih Bu Kartini atas pertanyaannya. Dari penjelasan Ibu, kami simpulkan permasalahan Ibu Kartini adalah mengenai ketidaksetujuan terhadap penerbitan SKP PBB dan upaya yang dapat dilakukan melalui peraturan perpajakan.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan terkait ketidaksetujuan mengenai penerbitan SKP PBB, dapat ditempuh dengan 2 skema yaitu pengajuan pengurangan atau pembatalan SKP PBB dan pengajuan keberatan atas SKP PBB.

Pertama, Pengajuan Pengurangan atau Pembatalan SKP PBB.

Pada Pasal 2 PMK 111/2009 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PMK-111), dijelaskan bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan untuk pengurangan atau pembatalan SKP PBB dengan cara:

  • mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi PBB dan BPHTB berupa bunga, denda, dan kenaikan yang dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahan wajib pajak; dan/atau
  • mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB, yang tidak benar.

Lebih lanjut, dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) PMK-111 dijelaskan mengenai kriteria ketidakbenaran SKP PBB yang dapat diajukan permohonan pengurangan serta permohonan pembatalan SKP PBB yang seharusnya tidak diterbitkan.

Dalam Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa Pengurangan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB dapat dilakukan dalam hal:

  • Terdapat ketidakbenaran atas luas objek pajak bumi dan/ atau bangunan; Nilai Jual Objek Pajak bumi dan/ atau bangunan; dan/atau Penafsiran peraturang perundang-undangan PBB pada SPPT, SKP PBB, atau SPT PBB.
  • Terdapat ketidakbenaran atas Nilai Perolehan Objek Pajak; dan/atau Penafsiran peraturan perundang-undangan BPHTB pada SKBKB, KBKBT, SKBLN, SKBN, atau STB.

Selain itu dalam Pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa Pembatalan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB dapat dilakukan apabila SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB tersebut seharusnya tidak diterbitkan.

Adapun tata cara penerbitan SKP PBB diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 225/ 2014 (PMK-225), khususnya dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan sebagai berikut.

Pertama, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat berakhirnya Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKP PBB berdasarkan hasil Pemeriksaan atau Penelitian PBB. Kedua, SKP PBB diterbitkan dalam hal terdapat PBB yang seharusnya terutang berdasarkan hasil Penelitian PBB terhadap keterangan lain yang mencakup sebagian atau seluruh data, keterangan, dan/atau bukti, mengenai Objek Pajak dan/atau wajib pajak yang diperoleh dan/atau dimiliki Direktorat Jenderal Pajak berupa:

  • data, keterangan, dan/atau bukti, terkait dengan wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang PBB dan setelah ditegur secara tertulis wajib pajak tidak menyampaikan SPOP sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
  • data, keterangan, dan/atau bukti, dalam Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap wajib pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara;
  • data, keterangan, dan/atau bukti lainnya, yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah PBB yang terutang.

Dari uraian panjang di atas, kesimpulan atas pengajuan pengurangan atau pembatalan SKP PBB adalah:

  • SKP PBB yang diterbitkan berdasaran hasil penelitian PBB dapat diajukan pengurangan SKP PBB apabila menurut wajib pajajk terdapat ketidakbenaran atas luas objek pajak pajak bumi dan/atau bangunan, Nilai Jual Objek Pajak bumi dan/atau bangunan; dan/atau penafsiran peraturan perundang-undangan PBB, yang diajukan oleh Kanwil DJP dalam menetapkan PBB yang masih harus dibayar.
  • SKP PBB yang diterbitkan berdasarkan hasil penelitian PBB juga dapat diajukan pembatalan SKP PBB apabila wajib pajak menganggap bahwa SKP PBB yang telah diterbitkan oleh Kanwil DJP seharusnya tidak diterbitkan, tentunya dengan melihat tata cara penerbitan SKP PBB sudah sesuai atau tidak.

Kedua, Pengajuan Keberatan atas SKP PBB.

Wajib pajak dapat melakukan upaya administrasi lainnya yaitu melalui pengajuan keberatan ke DJP, hal ini tertuang ke dalam Pasal 15 Undang-Undang PBB yang menyebutkan bahwa wajib pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas SPPT dan Surat Ketetapan Pajak.

Selain itu, pengajuan keberatan atas SKP PBB juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/2014 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan (PMK-253) yang mana keberatan hanya diajukan terhadap materi dalam penetapan besarnya PBB yang terutang pada SPPT atau SKP PBB.

Artinya keberatan atas SKP PBB diajukan terhadap materi dalam penetapan besarnya PBB yang terutang (terdapat perbedaan pendapat baik secara hukum maupun materi antara wajib pajak) apabila tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya menurut wajib pajak.

Demikian jawaban kami, semoga membantu Ibu Kartini. ()

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 18 April 2024 | 13:48 WIB KONSULTASI PAJAK

Bayar Endorse Influencer di Media Sosial, Dipotong PPh Pasal 21?

Kamis, 18 April 2024 | 10:05 WIB KABUPATEN SUKABUMI

Wah! Ada Hadiah Umrah Gratis untuk Wajib Pajak yang Taat di Daerah Ini

Minggu, 14 April 2024 | 12:00 WIB KOTA PEKANBARU

Bantu Bagikan SPPT PBB, Ada Insentif Buat Camat Hingga Ketua RT/RW

Kamis, 11 April 2024 | 10:30 WIB KONSULTASI PAJAK

Apa Syarat Investasi Padat Karya Bisa Dapat Investment Allowance?

BERITA PILIHAN