ANALISIS PAJAK

Salah Sasaran Pemungutan PPN Google Shopping Ads

Selasa, 15 Oktober 2019 | 12:15 WIB
Salah Sasaran Pemungutan PPN Google Shopping Ads

Riyhan Juli Asyir,
DDTC Consulting

GOOGLE menjadi mesin pencari paling populer saat ini dengan pangsa pasar 73% pengguna pada komputer pribadi (PC) dan 81% pengguna pada mobile (Alex, 2019). Kepopuleran Google menjadikan banyak pelaku usaha menjalin kerja sama iklan yang disediakan Google.

Layanan iklan Google tersebut sejak 24 Juli 2018 dikenal sebagai Google Ads, rebanding dari Google Adwords. Salah satu fitur yang ditawarkan Google Ads adalah Google Shopping Ads. Google Shopping Ads diluncurkan pada 2017 di puluhan negara termasuk Indonesia.

Umumnya, pengguna Google Shopping Ads adalah pelaku perdagangan e-commerce yang menjual barang atau jasanya menggunakan media daring. Tidak ada ketentuan atau panduan baku mengenai jenis-jenis e-commerce.

Bagi pelaku e-commerce berbentuk online retail yang menjual produknya secara mandiri melalui laman yang dikelola sendiri, tentu akan sangat mudah menentukan siapa penerima jasa dan manfaat (subjek) dari aktivitas iklan online (objek) seperti Google Shopping Ads.

Hal berbeda terjadi pada penggunaan Google Shopping Ads. Google memiliki badan hukum perseroan terbatas di Indonesia, tetapi perusahaan tersebut tidak menjalankan kegiatan usaha sebagai penyedia platform Google Ads. PT Google Indonesia hanya bertindak sebagai agen pemasaran.

Jasa penyediaan iklan disediakan Google Asia Pacific, Pte. Ltd. untuk konsumen Indonesia. Namun, PT Google Indonesia akan bertindak sebagai reseller Google Ads dan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) mulai 1 Oktober 2019 kepada pengguna dengan alamat penagihan di Indonesia.

Dengan demikian, jika online retail memanfaatkan Google Shopping Ads, ada kewajiban PPN berupa pemungutan sendiri PPN jasa kena pajak dari luar daerah pabean (JKP LN) sebelum 1 Oktober 2019 dan dipungut PPN 10% oleh PT Google Indonesia per 1 Oktober 2019.

Lalu, bagaimana dengan pelaku online marketplace? Penyelenggara online marketplace melakukan kontrak dengan Google untuk memanfaatkan Google Shopping Ads. Karena itu, penyelenggara online marketplace-lah yang berkewajiban memungut PPN atas pemanfaatan iklan online Google tersebut.

Di sini, subjek, objek, dan dasar pengenaan pajak (DPP) PPN dapat ditentukan dengan mudah. Contoh yang mempraktikkan hal ini adalah Bukalapak. Lalu bagaimana jika penyelenggara online marketplace mendaftarkan seluruh toko dan produk di platform-nya pada Google Shopping Ads?

Seringkali penyelenggara online marketplace mendaftarkan seluruh toko dan barang di database-nya agar pengguna internet mengunjungi platform marketplace miliknya dan mendapat trafik pengunjung yang tinggi, bukan spesifik menjual produk dari pedagang tertentu.

Karena itu, penyelenggara online marketplace maupun pedagangnya tidak mengetahui toko apa yang muncul dari hasil pencarian Google Shopping Ads. Apalagi Google memiliki akses menelusuri seluruh katalog produk akibat diberikannya database toko dan produk yang dijual.

Jasa Pemberian Cuma-Cuma
OTORITAS pajak menganggap iklan yang muncul di Google Shopping Ads sebagai jasa pemberian cuma-cuma yang diberikan penyelenggara online marketplace apabila penyelenggara online marketplace menanggung sendiri biaya iklan tanpa menagih kepada pedagang di platform miliknya.

Dasarnya karena yang mendapatkan manfaat dari iklan di Google Shopping Ads ialah pedagang, bukan penyelenggara online marketplace. Otoritas pajak menetapkan objek PPN Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN dengan DPP nilai lain berupa jumlah yang dibayarkan penyelenggara marketplace kepada Google.

Penetapan objek PPN ini terjadi sebagai hasil pemeriksaan pajak karena sulit menentukan siapa penerima jasa dan berapa nilainya. Penggunaan DPP dari nilai yang dibayar kepada Google merupakan cara mudah tanpa perlu menentukan siapa penerima jasa/pedagang online marketplace.

Objek PPN atas penyerahan JKP di daerah pabean, termasuk JKP yang diberikan cuma-cuma, dapat dikatakan penyerahan jasa terutang PPN jika memenuhi syarat kumulatif Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN. Dari syarat itu, yang terpenting mengidentifikasi apakah suatu penyerahan jasa eksis atau tidak.

UU PPN mendefinisikan jasa sebagai setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia dipakai, termasuk jasa menghasilkan barang karena pesanan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

Jasa sendiri memiliki karakteristik unik, yaitu (i) Intangible, Heterogenous, (ii) Production, distribution and consumption simultaneous process, (iii) An activity of process, (iv) Core value produced in buyer-seller interaction, (v) Customer participate in the production process, (vi) Cannot be kept in stock, (vii) No transfer of ownership (Rosdiana dan Irianto, 2012).

Pada kasus Google Shopping Ads, tidak ada interaksi apapun antara penyelenggara online marketplace dan pedagang serta tidak ada keterlibatan pedagang pada aktivitas iklan yang didasarkan algoritma acak, kata kunci, kesesuaian informasi, dan faktor optimasi mesin pencari dari katalog pengiklan.

Dengan demikian, tidak terpenuhinya karakteristik jasa berupa core value produced in buyer-seller interaction dan customer participate in the production process, tidak ada jasa yang diberikan oleh penyelenggara marketplace.

Selain itu, pengusaha kena pajak (PKP) pemberi jasa wajib menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pungutan PPN. Apabila tidak diketahui siapa penerima jasa karena hasil pencarian Google Shopping Ads acak, PPN mustahil dapat dipungut penyelenggara online marketplace pada pedagangnya.

Dengan tidak teridentifikasinya subjek yang bertransaksi, objek yang tidak memenuhi karakteristik jasa, serta tidak adanya kepastian nilai dasar pengenaan pajak, iklan online Google Shopping Ads oleh penyelenggara online marketplace tidak dapat dianggap sebagai pemberian jasa secara cuma-cuma.

Pengenaan PPN atas objek pemberian jasa cuma-cuma justru menjadikan terlanggarnya prinsip dasar pemungutan pajak karena sulitnya menentukan subjek, objek, dan DPP PPN-nya (asas certainty) serta sulit untuk dilaksanakan (asas simplicity) (Thuronyi, 1996).

Apabila otoritas pajak hendak melakukan deemed objek PPN atas jasa iklan online itu, otoritas pajak perlu terlebih dahulu menyediakan petunjuk pemungutan pajak yang terperinci agar wajib pajak mendapatkan haknya atas kepastian hukum (Sommerfeld, 1982).

Selain itu, apabila tidak ada perjanjian terpisah antara penyelenggara online marketplace dan pedagangnya, melainkan disatukan seluruhnya, perusahaan pasti telah memperhitungkan biaya advertising dalam harga jual dan biaya tersebut akan dikenai PPN. (Schenk, Alan, dan Oldman, 2007).

Dengan kata lain, biaya Google Shopping Ads telah diperhitungkan dalam service charge penyelenggara online marketplace. Karena itu, mestinya tak ada objek PPN pemberian cuma-cuma bagi penyelenggara online marketplace yang mendaftarkan seluruh toko dan produknya ke Google Shopping Ads.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 26 April 2024 | 15:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ada Usulan Tarif Pajak Kripto untuk Dipangkas, Begini Tanggapan DJP

Jumat, 26 April 2024 | 11:30 WIB KP2KP MUKOMUKO

Petugas Pajak Ingatkan WP soal Kewajiban yang Sering Dilupakan PKP

Jumat, 26 April 2024 | 11:13 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Status PKP Dicabut, Tak Bisa Lapor SPT Masa PPN Normal dan Pembetulan

Kamis, 25 April 2024 | 18:30 WIB TIPS PAJAK

Cara Ajukan e-SKTD untuk Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional

BERITA PILIHAN