OPINI PAJAK

Paradigma PPh, Subjektif atau Objektif?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 07 April 2020 | 11.01 WIB
ddtc-loaderParadigma PPh, Subjektif atau Objektif?

Dwiki Agung Pebrianda,

Pegawai Ditjen Pajak

INDONESIA mengategorikan pajak penghasilan (PPh) sebagai pajak subjektif. UU PPh Tahun 2008 menyatakan PPh dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomi yang diperoleh wajib pajak baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini berarti pemenuhan kewajiban PPh mendahulukan keadaan subjek pajak dibandingkan dengan objek pajak.

Kondisi ini membangun paradigma yang meletakkan subjek pajak sebagai starting point dalam proses perpajakan. Paradigma ini pada akhirnya mengarahkan masyarakat dan otoritas pajak pada pemikiran selama terdapat pergerakan penghasilan dari satu subjek pajak ke subjek pajak lainnya, maka muncul potensi penghasilan yang dapat dikenakan pajak.

Paradigma ini memunculkan aspek lain, yakni pengenaan pajak sesuai dengan beban ekonomi yang ditanggung subjek pajak. Aspek ini mewujud dalam hukum pajak Indonesia sebagai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Keberadaan PTKP ini memungkinkan subjek pajak yang tidak memenuhi batas kemampuan ekonomi tertentu tidak membayar PPh.

Di sisi lain, terdapat kemungkinan memandang PPh sebagai sebentuk pajak objektif. Melalui paradigma ini, penghasilan merupakan starting point, sehingga tidak mengaburkan kedudukan penghasilan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

Dengan keadaan tersebut, PPh dipandang sebagai pajak yang memprioritaskan aliran kekayaan. Asas substance over form menjadi asas utama di sini di mana apapun bentuk dan siapapun subjeknya, selama terdapat peningkatan dan aliran penghasilan, maka di situ terdapat potensi PPh.

Hal ini sebenarnya sudah diatur Pasal 4 UU PPh. “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun”.

Dalam rumusan kalimat itu terdapat frasa ‘yang diterima atau diperoleh wajib pajak’. Hal ini dengan sendirinya menyatakan sebuah aspek dari paradigma subjektif yang menekankan keberadaan subjek pajak.

PPh Final
NAMUN, terlepas dari frasa tersebut, paradigma objektif memiliki porsi cukup besar dalam UU PPh. Secara lebih spesifik, Pasal 4 (2) UU PPh yang mengatur pengenaan PPh final merupakan pondasi paradigma objektif dalam ketentuan pajak penghasilan Indonesia.

PPh final merupakan pajak yang diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Karateristik umum dari jenis pajak ini ialah tidak mempertimbangkan eadaan subjek pajak. Selama terdapat penghasilan, maka pajak dapat dikenakan.

Pasal 4 (2) UU PPh mendefinisikan 5 jenis penghasilan final, yakni bunga deposito dan tabungan, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lainnya, pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya yang diatur lewat peraturan pemerintah.

Jenis terakhir ini mengakomodasi fleksibilitas otoritas pajak dalam menentukan jenis lain sesuai dengan keadaan ekonomi pada saat itu. Salah satu contoh PPh final ini misalnya PPh atas bunga tabungan dan deposito.

PPh final ini tidak mempertimbangkan keadaan si pemilik tabungan pada saat menerima bunga, tetapi hanya melihat peningkatan penghasilan berupa bunga yang muncul. Selama tabungan si pemilik menghasilkan bunga, maka PPh final dapat dikenakan saat itu juga.

Pengecualian terjadi untuk dividen yang diterima orang pribadi dengan tarif 10% dari bruto. Dividen yang merupakan bagi hasil dari keuntungan setelah pajak suatu perseroan terbatas (PT) dikenakan pajak lagi saat dibagikan kepada pemegang sahamnya dalam bentuk dividen.

Dividen ini juga tidak bisa dibiayakan dalam penghitungan PPh PT tersebut. Hal ini merupakan suatu bentuk double taxation karena atas objek pajak yang sama dikenakan pajak dua kali, yakni pada level badan (PT) dan individu (OP).

Double taxation ini muncul karena PT dianggap sebagai sebuah entitas legal yang memiliki hak dan kewajiban hukum tersendiri, terpisah dari pemegang sahamnya. Kondisi dengan dua entitas ini, badan dan pemegang saham, menyebabkan perpindahan kekayaan dari badan ke individu dianggap sebagai penghasilan baru yang tidak terkait dengan penghasilan badan tersebut.

Asas substance over form dan keberadaan double taxation ini tentu bukan merupakan hal yang tepat. Fenomena ini menunjukkan bentuk entitas , atau paradigma subjektif, mendahului substansi penghasilan, atau paradigma objektif. Dengan kata lain, fenomena ini memberi kesan seakan aspek legal subjek pajak lebih penting dibandingkan dengan keberadaan penghasilan sebagai objek pajak.

Kenyataan ini tidak menguntungkan sebenarnya jika dilihat dari perspektif ekonomi masa kini. Perkembangan teknologi yang sangat pesat memungkinkan entitas dapat memperoleh penghasilan tanpa adanya kehadiran fisik. Contoh yang paling nyata ialah Netflix, Google, dan entitas sejenisnya yang menjadi target negara-negara yang merasa dicurangi, termasuk Indonesia.

Ketidakuntungan ini juga mewujud dalam berkurangnya insentif pemodal dalam berinvestasi di Indonesia. Dividen merupakan insentif yang diterima pemodal atas investasinya. Oleh karena itu, ukuran dividen yang diterima tentu saja sangat memengaruhi tingkat investasi di suatu negara.

Paradigma subjektif maupun paradigma objektif memiliki karateristik masing-masing. Dalam dunia yang kompleks dan cepat berubah seperti sekarang, sikap idealis untuk mempertimbangkan satu aspek saja tentu bukan pilihan bijak. Harus ada cost-benefit analysis untuk menentukan skema terbaik yang layak dipakai dan bisa beradaptasi dengan perkembangan model ekonomi terkini.* (artikel merupakan pendapat pribadi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.