KEPALA KANWIL DJP JAKARTA SELATAN II EDI SLAMET IRIANTO

‘Rencana Peningkatan Kepatuhan WP Tahun Ini Berbeda’

Kurniawan Agung Wicaksono
Senin, 18 Maret 2019 | 15.28 WIB
‘Rencana Peningkatan Kepatuhan WP Tahun Ini Berbeda’

Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II Edi Slamet Irianto (foto: DDTCNews)

MEMILIKI cakupan wilayah kerja yang disebut-sebut sebagai segitiga emas DKI Jakarta, ternyata Kanwil Ditjen Pajak (DJP) Jakarta Selatan II memiliki keunikan tersendiri dari sisi penerimaan pajak.

Dengan pertumbuhan double digit dan berada jauh dari capaian nasional pada tahun lalu, penerimaan pajak penghasilan wajib pajak (WP) badan di Kanwil DJP Jakarta Selatan II justru tidak terlalu besar. Ada fenomena yang unik karena secara regulasi WP-WP tersebut terdaftar di kanwil lain.

DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II Edi Slamet Irianto belum lama ini untuk mencari tahu kinerja dan rencana langkah yang akan diambil tahun ini. DDTCNews juga ingin mencari tahu karakteristik kepatuhan WP di kanwil ini. Berikut kutipan wawancaranya.

Bagaimana kinerja Kanwil DJP Jakarta Selatan II pada tahun lalu?

Kinerja dalam konteks penerimaan pajak, kami berhasil mencatatkan pertumbuhan sekitar 30% tanpa tax amnesty. Jika menggunakan perhitungan ada tax amnesty, pertumbuhan sekitar 26%. Kinerja pertumbuhan Itu tercatat paling tinggi secara nasional.

Lantas, langkah apa yang bisa dipelajari dan diimplementasikan lagi pada tahun ini?

Ya saya kira masyarakatnya kan sama. WP yang ada di wilayah kita juga masih sama, sehingga pendekatannya memakai dialog dan komunikasi. Kemudian, kami turun ke lapangan untuk mendengar dan melihat. Itu lebih efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

Masyarakat harus dipahamkan bahwa pembayaran pajak adalah bagian dari peran masyarakat itu sendiri terhadap bangsa ini. Hal itulah yang harus disampaikan kepada masyarakat. Tidak ada hal lain karena aturannya sama. Kanwil tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan, tapi bagaimana menyiasati sehingga aturan itu bisa dilaksanakan oleh masyarakat secara baik dan benar.

Jadi lebih mengedepankan komunikasi?

Betul. Ini karena masyarakat ingin tahu segala sesuatu. Mereka ingin tahu apa yang harus dia lakukan, bagaimana harus melakukannya, untuk apa, dan kapan. Tidak semua masyarakat itu mengikuti aturan yang berkembang di DJP karena tugas masyarakat adalah melakukan kegiatan ekonomi. Tugasnya DJP adalah menyampaikan aturan-aturan terbaru itu kepada masyarakat.

Bagaimana karakteristik WP di Kanwil DJP Jakarta Selatan II, misalnya dari sisi kepatuhan?

Sama saja dengan WP yang lain. Dalam hal membayar pajak, tentunya kalau memang bisa tidak membayar pajak, kenapa mesti bayar pajak? Jadi, yang namanya karakterter wajib pajak di manapun, baik di Papua, Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan seterusnya itu adalah sama.

Masyarakat itu masih menganggap bahwa pajak adalah beban yang harus mereka tanggung. Jika melihat nominalnya besar, ya mereka merasa, “Duh, kok besar sekali?” Dia tidak mempertimbangkan apa yang selama ini didapatkan dari negara sehingga bisa punya penghasilan yang begitu banyak.

Mereka juga tidak melihat bagaimana negara memfasilitasi usahanya dan bagaimana negara menjamin keamanannya dalam berusaha. Itu tidak pernah dilihat sebagai perbandingan dengan pembayaran pajak. Mereka melihatnya nominal yang harus dibayarkan karena pajak sangat besar. Jadi dalam konteks ini, kami harus sering menjelaskan dan memberi pemahaman.

Bukankah tingkat literasi terkait pajak masyarakat di Jakarta Selatan cukup tinggi?

Kalau masalah bayar pajak enggak ada kaitannya dengan literasi, tapi kaitannya dengan bagaimana dia merasakan manfaat dari pembayaran pajak itu sendiri. Nah, itu yang bisa merasakan ya dirinya sendiri. Saya kira semua masyarakat, terutama di Jakarta, tahu bahwa apapun kegiatan usahanya pasti harus membayar pajak.

Jadi, referensi—referensi atau literasi yang ditemui sudah cukup banyak sejak di bangku kuliah dan seterusnya. Persoalannya bukan masalah literasi, melainkan bagaimana dia mendapat pengakuan dari negara bahwa dia sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang memang baik.

Nah, ketika masyarakat memang memiliki pemahaman, kan tinggal kita sadarkan bahwa kewajiban warga negara untuk membayar pajak. Tugas DJP adalah meyakinkan bahwa mereka adalah bagian terpenting dari negara ini. Di sisi lain, negara sangat membutuhkan peran dia [WP].

Tanpa disadari, negara sudah membesarkan dia dari sejak lahir hingga kuliah. Meskipun kuliah di luar negeri, pengakuan dari negara lain bahwa mereka adalah WNI juga diperlukan. Jika tidak jelas identitas dan paspor, misalnya, pasti ditanggap. Inilah peran negara. Jadi, ada imbal balik dengan setoran pajak untuk memelihara eksistensi dan kepentingan generasi selanjutnya.

Apa rencana aksi dari Kanwil DJP Jakarta Selatan II untuk meningkatkan kepatuhan WP?

Rencana untuk meningkatkan kepatuhan pada tahun ini akan berbeda dengan tahun lalu. Kalau tahun lalu kami fokus pada orang yang selama ini melaporkan pajak, pada tahun ini kami akan fokus terhadap WP yang tidak pernah kelihatan batang hidungnya di kantor pajak. Apakah dia tidak pernah laporan SPT masa, SPT tahunan, bahkan tidak setor pajak. Ini yang kami garap.

Bagaimana caranya?

Kita akan bagi menjadi tiga cluster (kelompok). Pertama, kelompok WP yang memang ditengarai masih baru. Kedua, WP yang selama ini memang sudah patuh. Ketiga, WP yang kurang dan tidak patuh. Terhadap WP baru, kita melakukan pembinaan mulai dari bagaimana cara berusaha, bersaing, dan melakukan pencatatan secara tertib dan teratur untuk mengontrol usahanya.

Terhadap WP yang memang sudah patuh, kami lebih melakukan update aturan-aturan terbaru, sehingga sifanya sosialisasi danupdate informasi. Nah, untuk kelompok WP yang kurang dan tidak patuh, otomatis akan ada upaya seperti teguran.

Apakah langsung masuk ke sanksi hukum?

Kami akan menyosialisasikan dan menyampaikan bagaimana sanksi-sanksi terhadap WP yang tidak patuh. Ketika tidak patuh, ada kewenangan otoritas pajak yang diberikan oleh undang-undang untuk mengenakan sanksi seberat-beratnya kepada WP. Ketika kami menjelaskan masalah sanksi hukum dan seterusnya, bukan berarti kami akan menerapkan secara gegabah. Kita lakukan pendekatan bertahap.

Pendekatan bertahap seperti apa yang dijalankan?

Kami akan membuka langkah persuasif pada awalnya. Setelah itu kita melakukan dialog. Setelah ini tidak berhasil, ya kita tempuh tindakan hukum. Bagi pajak, tindakan hukum yang memenjarakan WP itu adalah upaya terakhir. Sanksi di pidana perpajakan itu yang besar dari sisi nominal uangnya, bukan penjara. Ini berbeda dengan tindak pidana lainnya.

Sektor usaha apa yang mendominasi Kanwil DJP Jakarta Selatan II?

Ada dua sektor besar yang mendominasi. Pertama, sektor pedagang eceran. Ini karena perusahaan-perusahaan yang menengah—besar itu masuk ke KPP Madya. Selanjutnya, meskipun berada di wilayah segitiga emas, WP seperti  besar akan tedaftar di Kanwil DJP WP Besar (Large Tax Offic/LTO). Hal serupa juga berlaku bagi perusahaan masuk bursa yang masuk ke Kanwil DJP Jakarta Khusus. Kedua, sektor jasa.

Dengan dominasi pedagang eceran dan jasa, apa tantangannya?

Ya kesulitan untuk meningkatkan setorannya karena pedagang-pedagang eceran kan sangat menyentuh lapisan di bawah. Jadi, kadang-kadang mereka ya tidak seperti WP besar yang melakukan pembukuan dengan baik. Untuk PPN-nya bisa kita dapatkan seperti di Pasar Raya dan seterusnya, tapi untuk PPh badannya kan mereka terdaftarnya di Madya dan LTO.

Artinya porsi setoran PPh badan lebih sedikit?

Iya, pada 2018 itu [setoran PPh] badan mencapai Rp2,5 triliun. Sementara PPh pasal 21 dan 29 WP OP senilai Rp4,6 triliun. Jadi, kalau dilihat dari sini, karyawan-karyawannya, pasal 21-nya di sini. Sementara, PPh badannya disetor di tempat lain.

Adakah pesan khusus dari Dirjen Pajak untuk pelaksanaan tahun ini?

Pesan khusus saya kira tidak ada. Dalam Rapim [rapat pimpinan] itu disepakati bahwa kita harus melaksanakan policy pimpinan saja. Dirjen pajak berpesan coba laksanakan hasil Rapim di lapangan. Berikan masukan ke pimpinan apabila ada kebijakan-kebijakan yang perlu disempurnakan. Arahannya itu saja. Laksanakan dengan sebaik-baiknya dan jaga integritas sehingga nilai-nilai Kementerian Keuangan betul-betul menjadi landasan dalam operasi di lapangan.

Dengan tiga cluster tadi, apakah anggapan ‘berburu di kebun binatang’ menjadi tidak relevan lagi?

Ya enggak [relevan]. Ini kan sekarang di kebun binatang atau di kandang sendiri itu banyak binatang-binatang yang tidak bertelur. Jadi, kami treatment lah. Misalya, binatangnya pada kurus-kurus. Padahal, kita kan perlu stok yang bagus.

Dengan sistem self assessment, DJP atau fiskus itu tidak bisa ofensif atau berinisiatif menarik orang itu untuk daftar jadi WP karena kami sifatnya menunggu. Nah, ketika sistem itu dilakukan maka konsekuensinya adalah DJP memelihara wajib pajak yang sudah masuk sistem.

Dia [WP] sudah melaksanakan aturannya dengan baik atau tidak, dengan benar atau tidak. Paling tidak lapor dulu lah, misalkan. Apakah dia sudah melaporkan secara teratur?  Misalkan WP yang baru berdiri, kan kemungkinan masih dalam keadaan rugi. Namun, secara undang-undang, dia harus lapor meskipun mungkin di akhir tahun nihil. Itu perlu diingatkan bahwa dia punya kewajiban perpajakan.

Tahun lalu, dirjen pajak mengeluarkan SE-15/2018 terkait pemeriksaan. Apakah ini berpengaruh pada proses bisnis di tingkat Kanwil dan KPP di bawahnya?

Oh iya, jelas. Ya mungkin dirjen pajak melihat bahwa untuk lebih menertibkan, mengefektifkan, dan mejaga kualitas pemeriksaan maka diaturlah ketentuan seperti dalam SE-15/2018 itu. Meskipun, kalau secara di lapangan itu ya mungkin perlu dikaji ulang karena bagi Kanwil dan seterusnya itu menambah SOP [standard operating procedure] baru. Padahal sekarang kita era digital, di mana kecepatan itu menjadi hal yang utama.

Apakah efeknya lebih kepada tambahan administrasi?

Jadi memang dirjen pajak melihat bahwa ini perlu untuk memastikan bahwa pelaksanaan pemeriksaan itu harus selektif dan efektif. Nah, untuk menghasilkan yang selektif dan efektif ini memang memerlukan prosedur karena memerlukan pembahasan, perlu ada SOP baru.

Berbekal pengalaman sebagai Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, apakah Anda sering mengambil langkah gijzeling?

Kami pernah meng-gijzeling di sini juga. Ya itu tadi, ini kan tugas undang-undang. Ada WP yang tidak patuh, sudah inkracht secara hukum tapi tidak mau bayar. Padahal dia punya kemampuan untuk membayar. Ya kami harus melakukan itu [gijzeling] demi keadilan dan tegaknya hukum.

Namun, kami juga tidak memperlakukan seperti itu semua. Memang udah inkracht tapi kenyataannya WP tidak punya kemampuan untuk membaya, ya kami lakukan pendekatan supaya bisa dicicil, paling tidak pokoknya dulu dibayar. Nanti kalau dia memang betul-betul kesulitan, ya kita pertimbangkan sanksinya. Apakah dikurangkan sebagian atau bagaimana.

Jadi, tindakan hukum yang memungkinkan dilakukan gijzeling atau penyidikan itu memang setelah dilakukan berbagai upaya dan WP cenderung untuk melawan hukum. Sudah inkracht artinya dia sudah mengupayakan untuk mendapatkan keadilan menurut versinya. Ingin mendapatkan kepastian, menurut versinya.

Berapa kepatuhan formal WP di Kanwil DJP Jakarta Selatan II?

Kita realisasi kepatuhan 96,69%, di atas nasional 80%-an. Kita jauh lebih bagus. Dari sisi sengketa, hampir sama dengan di tempat lain. Rata-rata pemeriksaan yang diajukan keberatan itu 30%-40% dan 60% rata-rata dibayar. Ya kita lebih baik dibandingkan nasional dari sisi pencairan dan sebagainya.

Bagaimana gaya kepemimpinan Anda terhadap bawahan?

Saya dengan anak buah terbuka. Saya akan bela anak buah kalau saya mengetahui dia sudah bekerja dengan benar, sesuai SOP, dan sesuai arahan. Namun, saya tidak perlu disuruh untuk menghukum anak buah saya ketika anak buah saya memang bandel dan tidak bekerja sesuai dengan aturannya. Itu prinsip saya. Saya juga zero tolerant terhadap kesalahan, tapi saya juga zero tolerantterhadap persekusi.

Di sela-sela keseharian sebagai Kepala Kanwil, apa yang sering Anda lakukan?

Hobi saya ngajar sama main golf. Saya mengajar pascasarjana S2 dan S3 Universitas Indonesia.

Sebagai pengajar, bagaimana Anda melihat tataran akademis dan praktis? Apakah masih relevan?

Relevan, tapi tidak persis sama. Kalau di tataran akademis itu kan normatif sifatnya. Kalau di tataran praktis kan sudah ada kepentingan politik negara dan politik masyarakat.* (das/kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.