Ilustrasi. (DDTCNews)
TEKANAN ekonomi yang menerpa Indonesia dalam 3 tahun terakhir telah sedemikian rupa memaksa pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk memaksimalkan sumber-sumber pendapatannya. Hal itu dilakukan untuk menyiasati pembiayaan sekaligus menjaga keberlangsungan pembangunannya.
Respons dan inisiatif kebijakan yang diambil pemerintah dalam 3 tahun terakhir ini juga bisa dilacak antara lain dari situasi tersebut. Kebijakan seperti pengampunan pajak misalnya, sedikit banyak akan kehilangan legitimasinya apabila dieksekusi dalam situasi ekonomi yang tengah kencang melaju.
Begitu pula dengan kebijakan seperti pembebasan sanksi denda pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor yang diterapkan oleh nyaris seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Atau juga pemberlakukan retribusi tenaga kerja asing, yang semakin marak di daerah-daerah.
Dari sekian banyak respons dan inisiatif kebijakan itu, apa yang dilakukan aparat Pemkab Bandung dua pekan lalu, yaitu dengan melakukan aksi penyisiran (sweeping) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ke pabrik-pabrik di wilayah Kabupaten Bandung, adalah salah satu yang menarik untuk dicermati.
Bupati Bandung Dadang M. Naser mengatakan aksi penyisiran NPWP itu dilakukan karena dari hasil identifikasinya selama ini, sebagian besar karyawan di pabrik-pabrik tersebut memiliki domisili NPWP di Provinsi DKI Jakarta, bukan di Kabupaten Bandung sesuai dengan domisili pabrik dan KTP-nya.
Akibatnya, jatah dana bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang diterima Kabupaten Bandung menjadi tidak maksimal. Penyisiran NPWP yang juga diikuti dengan memfasilitasi perubahan NPWP tersebut adalah upaya untuk memaksimalkan pendapatan Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data terakhir dari Kementerian Keuangan (unaudited), jatah dana bagi hasil PPh orang pribadi dalam negeri (Pasal 25 dan Pasal 29) serta PPh Pasal 21 Kabupaten Bandung hanya turun tipis, dari prediksi tahun 2014 sebesar Rp47 miliar menjadi sekitar Rp43 miliar pada 2015.
Pasal 31C UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan memang menjamin bahwa pemerintah daerah mendapatkan jatah sebesar 20% dari penerimaan PPh orang pribadi dalam negeri (Pasal 25 dan Pasal 29), serta PPh Pasal 21.
Ketentuan itu diperinci lagi oleh Pasal 13 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari 20% jatah untuk daerah tadi, 40% di antaranya dialokasikan ke provinsi dan sisanya ke kabupaten/ kota. Jatah itu disalurkan setiap 4 bulan sekali.
Tak ada yang keliru dengan aksi sweeping yang dilakukan oleh aparat Pemkab Bandung. Mereka toh hanya bergerak mencari celah untuk memaksimalkan pendapatan, dan itu masih dalam koridor hukum, di tengah keterbatasan sumber-sumber penerimaan lokal dan tekanan perekonomian.
Di sisi lain, yang dilakukan manajemen pabrik atau karyawannya dengan mencatatkan NPWP di luar Kabupaten Bandung juga tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pelanggaran hukum. Meski domisilinya disarankan sama, kalapun kemudian berbeda, KTP dan NPWP itu tetap sah dan legal di mata hukum.
Tetapi yang kita lihat dari aksi sweeping itu adalah betapa selama ini ada sesuatu yang keliru dalam hal negara memperlakukan sekaligus mengelola data penduduknya. Betapa ada sesuatu yang salah dalam hal negara mengelola administrasi keuangan berikut aspek-aspek turunannya, terutama dalam konteks mengamankan amanat desentralisasi fiskal.
Apalagi, di luar persoalan data itu, ada banyak agenda yang jauh lebih produktif dan signifikan hasilnya ketimbang sweeping. Kenapa pemda tidak aktif membangun transparansi pengelolaan dana bagi hasil pajak, karena data dan perhitungan Kemenkeu misalnya, tak punya pembanding mengingat Badan Pemeriksa Keuangan tidak bisa mengaudit penerimaan pajak.
Sweeping NPWP yang dilakukan Pemkab Bandung tentu tidak salah. Tetapi juga tak bisa dibantah, bahwa ia adalah potret ketidakberdayaan pemerintah daerah, di tengah absennya pengelolaan administrasi keuangan negara yang terarah, terstruktur dan terkoordinasi kuat. Itulah pesan inti yang harus ditangkap pemerintah. (*)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.