Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji.
JAKARTA, DDTCNews - Tren penurunan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tak bisa jadi patokan keberhasilan pengendalian konsumsi rokok di tengah masyarakat.
Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan kebijakan pemerintah dalam menaikkan tarif CHT telah mengubah perilaku konsumsi masyarakat. Tarif cukai yang naik pun hanya membuat konsumen beralih ke produk hasil tembakau yang dikenai cukai lebih rendah.
"Ketika kita bicara bahwa penerimaan cukai hasil tembakau turun, bukan berarti produksinya yang tercatat juga turun. Bisa juga ada behaviour konsumen yang berubah," katanya dalam webinar bertajuk Menilik Akar Penurunan Penerimaan Negara dari CHT dan Implikasinya ke Konsumsi, Kamis (8/6/2023).
Berdasarkan data pemerintah, Bawono mengungkapkan, penerimaan CHT hingga April 2023 menunjukkan kontraksi sebesar 5,16%. Padahal, CHT selama ini dikenal sebagai pos penerimaan yang relatif stabil. Artinya, penurunan penerimaan yang terjadi perlu menjadi perhatian pemerintah, mengingat porsinya mencapai 11,8% dari total penerimaan perpajakan.
Dia menjelaskan cukai memang menjadi salah satu instrumen yang biasa digunakan untuk mengendalikan produksi dan konsumsi barang yang memiliki eksternalitas negatif, termasuk rokok. Meski demikian, kebijakan menaikkan tarif cukai juga harus dilakukan secara hati-hati agar tujuan pengendalian konsumsi rokok dan penerimaan negara dapat tercapai secara efektif.
Menurutnya, penyusunan kebijakan mengenai cukai hasil tembakau tidak bisa dilakukan secara sederhana. Di Indonesia, tarif cukai rokok diatur dalam 8 lapisan dengan memperhatikan jenis, metode pembuatan, serta jumlah produksi.
Apabila rokok dikenakan tarif cukai yang tinggi, perilaku konsumen dapat berubah dengan mencari produk alternatif, menggunakan produksi substitusi, atau bahkan memilih produk ilegal. Kondisi ini terjadi karena keputusan untuk mengonsumsi rokok dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yakni harga produk dan pendapatan masyarakat.
Menurutnya, fenomena tersebut justru menunjukkan bahwa cukai tidak bisa dijadikan instrumen tunggal untuk mengendalikan produksi rokok. Tujuan pengendalian produksi rokok tersebut perlu didukung instrumen lain seperti penegakan hukum yang lebih kuat terhadap rokok ilegal.
"Kalau semisal kita salah mendesain dan tidak ada penegakan hukum atau audit, bisa jadi tujuan penerimaan, pengendalian konsumsi, dan bisnisnya tidak tercapai semua," ujarnya.
Senada dengan Bawono, Kepala Laboratorium Ekonomi DEB UGM Kun Haribowo pun memandang perilaku konsumsi masyarakat rentan terpengaruh dengan kebijakan kenaikan tarif CHT. Dalam analisisnya, produksi rokok golongan I menjadi yang paling elastis terhadap kenaikan tarif cukai.
Sebagai masyarakat yang rasional, ujar Kun, konsumen akan memilih rokok yang harganya sesuai dengan kondisi ekonominya. Sayangnya, penurunan produksi rokok golongan I ini tidak dapat dikompensasi oleh kenaikan produksi golongan II dan III sehingga penerimaan CHT secara keseluruhan menjadi kontraksi.
"Dengan harga yang separuh antara golongan I dan golongan II, ada potensi pergeseran konsumsi rokok dari golongan I ke golongan II atau mungkin dari golongan II ke golongan III," katanya. (sap)