Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah secara resmi mengumumkan mundurnya implementasi secara penuh pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), menjadi 1 Juli 2024. Semula, penerapan pemanfaatan NIK sebagai NPWP akan dilakukan pada 1 Januari 2024. Kabar ini cukup mendapat sorotan dari netizen selama sepekan terakhir.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Dwi Astuti mengatakan kebijakan ini mempertimbangkan keputusan penyesuaian waktu implementasi coretax administration system (CTAS) pada pertengahan 2024.
Selain itu, ada pertimbangan terkait dengan telah dilakukannya asesmen kesiapan seluruh stakeholder terdampak, seperti instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak ketiga lainnnya (ILAP) serta wajib pajak.
“Maka kesempatan ini diberikan kepada seluruh stakeholder untuk menyiapkan sistem aplikasi terdampak sekaligus upaya pengujian dan habituasi sistem yang baru bagi wajib pajak,” ujar Dwi dalam siaran pers.
Pemerintah menetapkan pengaturan kembali saat mulainya implementasi penuh NIK sebagai NPWP orang pribadi penduduk dan NPWP 16 digit bagi wajib pajak orang pribadi bukan penduduk, badan, dan instansi pemerintah dari semula 1 Januari 2024 menjadi 1 Juli 2024.
Dengan adanya pengaturan kembali ini, sambungnya, NPWP dengan format 15 digit (NPWP lama) masih dapat digunakan sampai dengan tanggal 30 Juni 2024. Sementara itu, NPWP format 16 digit (NPWP baru atau NIK) digunakan secara terbatas pada sistem aplikasi yang sekarang dan implementasi penuh pada sistem aplikasi yang akan datang.
Hingga 7 Desember 2023, total terdapat sebanyak 59,56 juta NIK yang telah dipadankan dengan NPWP. Sebanyak 55,76 juta dipadankan oleh sistem dan 3,80 juta dipadankan oleh wajib pajak. Jumlah pemadanan tersebut mencapai 82,52% dari total wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
Baca artikel lengkapnya, 'Implementasi Penuh NIK sebagai NPWP Mundur, Ini Keterangan Resmi DJP'.
Selanjutnya, ada kabar mengenai munculnya desakan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan. Pemohon bernama Sangap Tua Ritonga meminta MK untuk memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, kuasa hukum Pither Ponda Barany mengatakan masuknya DJP ke dalam Kemenkeu adalah bentuk pencampuradukan nomenklatur keuangan dan nomenklatur pajak.
"Secara konstitusi sejak amendemen ketiga UUD 1945 antara nomenklatur keuangan dan nomenklatur pajak secara nyata dan jelas telah dipisahkan, menjadi Pasal 23 untuk nomenklatur keuangan dan Pasal 23A UUD 1945 untuk nomenklatur pajak," ujar Pither.
Pemohon mengatakan pencampuradukan nomenklatur ini mengakibatkan tercampurnya segala aspek, seperti organisasi, SDM, sistem teknologi informasi, dan aspek operasional lainnya.
Lebih lanjut, Pither mengatakan digabungkannya fungsi treasury dan fungsi pajak dalam 1 komando telah melahirkan target pajak yang senantiasa naik tanpa didasari oleh dasar penghitungan potensi. Kondisi ini akan membuat para wajib pajak menjadi sasaran untuk terus menambah kontribusi pajaknya ke APBN.
Baca artikel lengkapnya, 'Dianggap Tak Sesuai UUD 1945, MK Diminta Pisahkan DJP dari Kemenkeu'.
Selain dua artikel di atas, masih ada sejumlah pemberitaan yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya aturan baru soal pemberian pengurangan PBB, fasilitas kepabaeanan impor bagi pekerja migran, hingga minimnya pihak yang menanfaatkan fasilitas supertax deduction.
NPWP cabang masih digunakan untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan hingga pertengahan 2024.
Hal tersebut sebagai dampak mundurnya jadwal implementasi penuh penggunaan NIK sebagai NPWP atau NPWP 16 digit dari semula 1 Januari 2024 menjadi 1 Juli 2024 seiring dengan diterbitkannya PMK 136/2023 yang mengubah PMK 112/2022.
Sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) PMK 112/2022 s.t.d.d PMK 136/2023, terhadap wajib pajak cabang yang telah diterbitkan NPWP cabang sebelum beleid ini mulai berlaku, dirjen pajak memberikan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 129/2023 dalam rangka menyesuaikan ketentuan pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Menurut Kemenkeu, peraturan sebelumnya yaitu PMK 82/2017 perlu diganti karena belum cukup menampung penyesuaian pengaturan yang diperlukan.
"Untuk lebih memberikan kepastian hukum serta meningkatkan tata kelola administrasi…perlu menyempurnakan ketentuan mengenai objek pajak yang dapat diberikan pengurangan PBB, tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan pengurangan PBB, serta pemberian pengurangan PBB secara jabatan," bunyi bagian pertimbangan PMK 129/2023.
Pemerintah telah menerbitkan PMK 141/2023 yang mengatur pemberian fasilitas kepabeanan atas impor barang kiriman para pekerja migran Indonesia (PMI). Aturan tersebut resmi berlaku sejak kemarin.
Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan fasilitas ini menjadi bentuk dukungan pemerintah kepada PMI yang ingin mengirimkan barang ke kampung halaman. Melalui PMK 141/2023, diatur pembebasan bea masuk atas impor barang kiriman PMI senilai total US$1.500 per tahun.
"Fasilitas ini akan bermanfaat untuk PMI yang melakukan aktivitas barang kiriman," katanya.
Pemerintah mencatat baru 76 wajib pajak yang memanfaatkan fasilitas supertax deduction atau pengurangan penghasilan bruto hingga 200% atas pengeluaran dunia usaha untuk kegiatan vokasi hingga Oktober 2023.
Plt. Direktur Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri Kemendikbud Uuf Brajawidagda mengatakan terdapat 1.205 perjanjian kerja sama (PKS) yang dilakukan 76 wajib pajak tersebut dengan 698 lembaga pendidikan. Menurutnya, fasilitas supertax deduction ini memang tersedia bagi pelaku usaha yang bekerja sama dengan lembaga pendidikan.
"Teman-teman industri bisa mengajukan kerja sama-kerja sama dengan teman-teman SMK itu untuk fasilitas supertax deduction," katanya dalam Sosialisasi Program SMK Pusat Keunggulan.
Pemerintah mencatat kinerja APBN hingga 12 Desember 2023 mengalami defisit senilai Rp35 triliun. Angka tersebut setara dengan 0,17% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan defisit terjadi karena realisasi pendapatan negara tercatat senilai Rp2.553,2 triliun. Sementara itu, realisasi belanja negara tercatat senilai Rp2.588 triliun. Menurut Sri Mulyani, defisit anggaran tersebut tergolong sangat kecil. (sap)
“Defisit kita yang hanya Rp35 triliun jauh lebih kecil dari desain defisit awal yang sebesar Rp598 triliun, serta yang diturunkan jadi Rp479,9 triliun," katanya dalam konferensi pers APBN Kita.