Salah satu sudut jalan di Kota Nairobi, Kenya.
NAIROBI, DDTCNews—Otoritas pajak Kenya (Kenya Revenue Authority/KRA) merilis laporan perihal insentif tax holiday. Dalam laporan itu, tax holiday dinilai tidak berdampak signifikan kepada peningkatan kegiatan investasi.
Laporan KRA menyebutkan insentif pajak yang diberikan meningkat drastis sejak tahun fiskal 2012. Belanja perpajakan meningkat dari 100 miliar shilling Kenya menjadi 478 miliar shilling atau setara Rp70,4 triliun pada tahun fiskal 2017.
"Belanja perpajakan Kenya mencapai 5,9% terhadap PBD nasional, angka itu lebih tinggi dari negara lain seperti Afrika Selatan sebesar 3,9% dan Mauritius sebesar 1,4% dari PDB," tulis laporan KRA dikutip Rabu (15/4/2020).
Laporan otoritas pajak memerinci belanja perpajakan itu di antaranya seperti pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan dari 30% menjadi 25% serta pemangkasan tarif PPh final UMKM dari 3% menjadi 1%.
Angka belanja perpajakan tersebut berpeluang besar meningkat pada tahun ini karena adanya pandemi Corona. Pemerintah berencana memangkas tarif PPN dari 16% ke 14%. Selain itu relaksasi juga diberikan untuk PPh karyawan.
Namun demikian, pemberian insentif ini tidak diimbangi efek lanjutan kepada investasi dan lapangan kerja. Menurut KRA, sektor manufaktur menjadi paling tidak signifikan dalam meningkatkan investasi dan lapangan kerja.
Berdasarkan data KRA, sektor manufaktur menikmati pengurangan belanja modal mencapai 24% selama periode 2014-2019. Namun demikian, sumbangan investasi yang masuk hanya sekitar 0,1%.
Dilansir dari Standard Media, perusahaan yang berada di kawasan berikat (export processing zones/EPZ) paling menjadi sorotan. KRA menyebutkan sumbangan perusahaan yang berada di EPZ terhadap ekspor nasional mencapai 8%.
Namun, kontribusi perusahaan EPZ terhadap penciptaan lapangan kerja hanya 0,3%. Lalu, belanja pegawai hanya 0,5% dan 0,1% terhadap total setoran pajak. Adapun, porsi EPZ terhadap total pengurangan belanja modal sebesar 0,3%. Â
Kontribusi EPZ yang menikmati tax holiday 10 tahun ini jauh lebih rendah ketimbang perusahaan terbuka yang berkontribusi 18% terhadap belanja pegawai dan menyumbang 6% dari total ekspor nasional. Perusahaan terbuka sendiri menikmati pengurangan belanja modal hingga 33%.
Minimnya kontribusi insentif pajak terhadap investasi itu, membuat KRA menyalahkan kepentingan politik, lobi para pebisnis hingga minimnya transparansi, sehingga membuat insentif pajak tidak sesuai dengan harapan. (rig)