Ilustrasi. (DDTCNews)
JANUARI 2015, DPR dan pemerintah sepakat memasukkan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Lebih dari itu, keduanya juga sepakat memasukkan RUU KUP inisiatif pemerintah ini dalam Prolegnas Prioritas 2015.
Namun sampai akhir 2015, pemerintah tak kunjung mengirim draf RUU KUP ke DPR, meski laporan hasil penyelarasan naskah akademiknya sudah selesai, dan sudah mendapatkan Surat Keterangan No. PHN.01.03-163 dari Menteri Hukum dan HAM, sebagai salah satu syarat masuk Prolegnas.
Akhirnya, Januari 2016, DPR dan pemerintah kembali memasukkan RUU KUP ke Prolegnas Prioritas 2016. Pada Mei 2016, draf RUU KUP masuk ke DPR, di tengah pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Masuknya RUU KUP ini sejalan dengan agenda reformasi pajak pasca-tax amnesty.
DPR juga telah menerima surat presiden (surpres) tentang penunjukan kementerian yang mewakili pembahasan revisi UU KUP. Sayang, RUU KUP tetap belum dapat dibahas karena pemerintah belum mengirimkan naskah akademiknya, sebagai bagian dari prosedur dimulainya pembahasan RUU.
Menkeu Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan revisi UU KUP ditujukan untuk memperbaiki administrasi perpajakan. “Revisi itu mencakup berbagai dimensi, mulai dari penguatan kelembagaan DJP hingga perubahan aturan yang menghambat upaya penghimpunan data,” katanya, Rabu (25/5).
Akhir Juli, Presiden Joko Widodo menunjuk Sri Mulyani Indrawati menggantikan Menkeu Bambang. Menkeu Sri Mulyani kemudian melakukan penilaian ulang (re-assessment) terhadap draf RUU KUP warisan Menkeu Bambang. Hasilnya, draf RUU KUP yang sudah diserahkan ke DPR akan diperbaiki.
Menurut Menkeu Sri Mulyani, beberapa poin yang dianggap perlu dikoreksi dalam draf RUU KUP tersebut antara lain posisi dan kelembagaan DJP sebagai lembaga semi-otonom serta pemberian diskresi kepada aparat pajak yang tidak diseimbangkan dengan pengawasannya.
“Masyarakat pasti berpikiran, jika [aparat pajak] diberikan diskresi apakah nanti tidak abuse? Dari dulu kan memang seperti itu persoalannya. Bahkan juga kasus operasi tangkap tangan [KPK pada Kasubdit Bukti Permulaan DJP] membuat masyarakat lebih skeptis,” kata Sri Mulyani, Sabtu (29/11).
Sampai di sini, agaknya kita sudah bisa menebak sinyal yang dikirimkan Menkeu: DJP akan tetap menjadi DJP di Kementerian Keuangan seperti praktik selama ini, dan kewenangan aparat pajak yang diperkuat dalam draf lama akan cenderung dibatasi baik melalui aturan maupun pengawasan.
Tidak ada masalah dengan re-assessment yang dilakukan Menkeu. Hampir persis 10 tahun lalu, di tengah dominasi wacana perlunya bersikap ‘business friendly’, Menkeu Sri Mulyani juga melakukan re-assessment seperti itu hingga akhirnya mengoreksi draf RUU KUP versi Menkeu Jusuf Anwar.
Karena itu, tentu Menkeu juga tahu, pengaruh apa yang diberikan UU KUP hasil re-assessment-nya 10 tahun lalu itu hingga kini disimpulkan perlu dikoreksi. Dan dengan pengalaman yang panjang itu, tentu Menkeu tahu, kenapa draf RUU KUP kini perlu memperkuat institusi DJP sekaligus kewenangan fiskus.
Di luar koreksi itu, kami perlu ingatkan, revisi UU KUP ini adalah agenda inti reformasi perpajakan, yang bukan tanpa kebetulan, diniatkan untuk dijalankan segera setelah program pengampunan pajak dilaksanakan. Jangan sampai perbaikan draf RUU KUP melewatkan momentum tax amnesty.
Karena itu, RUU KUP harus tetap diupayakan masuk ke Prolegnas 2017. Momentum reformasi pajak harus dijaga. Re-assessment Menkeu jangan memakan waktu yang terlalu lama. Akan lebih bagus lagi, jika RUU KUP dibahas pararel dengan RUU PPh dan RUU PPN, yang memang perlu diharmoniskan.
Jangan lupa, agenda reformasi perpajakan ini masih panjang. Masih berderet daftar RUU yang perlu diharmoniskan dengan revisi paket UU Pajak. RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, RUU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, juga RUU Perbankan untuk sekadar menyebut contoh.
Oleh sebab itu, jangan sampai niat untuk melakukan re-assessment RUU KUP malah tak menghasilkan apa-apa selain kehilangan peluang besar untuk menciptakan ‘jembatan’ menuju perubahan sistem dan praktik perpajakan yang lebih baik. Momentum harus tetap dijaga, itu yang perlu diingat. (*)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.