ANALISIS TRANSFER PRICING

Makna Internasional dari Konsep Hubungan Istimewa: Apakah Ada?

Redaksi DDTCNews
Senin, 25 Februari 2019 | 15.19 WIB
ddtc-loaderMakna Internasional dari Konsep Hubungan Istimewa: Apakah Ada?
DDTC Consulting

Transfer pricing merupakan isu perpajakan terkait dengan kewajaran dalam penetapan harga dalam transaksi antarperusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Praktik manipulasi transfer pricing turut memberikan dampak pada pembagian hak pemajakan antaryurisdiksi secara wajar dan adil.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila isu transfer pricing kemudian diatur dalam tax treaty, khususnya pada Pasal 9Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Model maupun United Nations (UN) Model (Pasal 9 tax treaty).

Pasal tersebut merupakan pernyataan atas konsensus global untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) pada transaksi hubungan istimewa. Saat ini, sudah banyak analisis mengenai penerapan arm’s length principletetapi menariknya, sedikit yang membahas konsep hubungan istimewa itu sendiri.

Hubungan istimewa, atau biasa dikenal dengan associated enterprises dalam Pasal 9 Ayat (1) tax treaty, pada intinya mensyaratkan adanya partisipasi modal, pengendalian manajemen dan terutama adanya ‘control, baik secara langsung maupun tidak langsung antarperusahaan.

Namun, pengertian istilah ‘control’ yang dimaksud dalam associated enterprises pada ketentuan Pasal 9 Ayat (1) tax treaty masih memiliki pengertian yang sangat luas (Rotondaro, 2000). Akhirnya timbul penafsiran berbeda-beda mengenai konsep associated enterprises di masing-masing negara, mulai dari jenis de jure control hingga jenis de facto control.

Sekarang pertanyaannya apakah konsep associated enterprises dalam ketentuan Pasal 9 tax treaty tersebut dapat ditafsirkan dengan menggunakan undang-undang/ketentuan domestik masing-masing negara?

Berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) tax treaty, suatu negara memang diperbolehkan untuk melakukan interpretasi menurut ketentuan domestik masing-masing negara apabila memang masih terdapat istilah-istilah yang belum mempunyai definisi dalam tax treaty. Namun, interpretasi secara domestik itu baru dapat dilakukan apabila konteks tax treaty memperbolehkan hal tersebut.

Untuk mengetahui konteks yang dimaksud dalam uraian tersebut, negara-negara yang mengikat perjanjian internasional (tax treaty merupakan perjanjian internasional) perlu mengacu dan memperhatikan hukum kebiasaan internasional sebagaimana tertuang dalam Article 31 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, yang salah satunya mengedepankan penjabaran/interpretasi dari ketentuan tax treaty agar dilakukan dengan benar dan penuh itikad baik.

Dengan demikian, ketentuan Pasal 3 Ayat (2) tax treaty tidak secara serta-merta membuka adanya interpretasi secara sepihak,tetapi perlu dilakukan interpretasi secara internasional terlebih dahulu. Dengan kata lain, konsep tersebut perlu disetujui atau disepakati untuk digunakan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian internasional tersebut.

Interpretasi Bilateral & Multilateral
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 mengatur bahwa materi interpretasi yang dikedepankan adalah materi interpretasi bilateral, yaitu materi interpretasi yang telah digunakan dalam negosiasi tax treaty atau materi yang saat tax treaty itu dibuat diketahui oleh kedua belah pihak.

Sementara itu, materi unilateral, yaitu materi interpretasi yang dibuat sepihak oleh salah satu negara dan yang pada umumnya tidak diketahui negara lawan dalam tax treaty, sebaiknya  dihindari untuk digunakan dalam interpretasi tax treaty.

Berdasarkan uraian di atas, apakah associated enterprises boleh diinterpretasikan secara sepihak? Jawabannya adalah tidak. Apabila konsep associated enterprises hanya diinterpretasikan secara sepihak tanpa diketahui dan disepakati terlebih dahulu oleh negara mitra perjanjian, besar kemungkinan akan timbul multitafsir antarnegara. Multitafsir tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan tujuan dari diadakannya tax treaty menjadi tidak tercapai.

Sebagai contoh, Indonesia memiliki aturan domestik tersendiri yang mengatur mengenai konsep associated enterprises yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Bisa saja konsep associated enterprises yang dimiliki Indonesia berbeda dengan konsep associated enterprises yang diterapkan di negara lainnya.

Perbedaan inilah yang menjadi isu penting dan harus terselesaikan dalam negosiasi tax treaty sehingga pada pelaksanaan tax treatytidak terjadi kebingungan di antara masing-masing negara. Permasalahan yang timbul adalah apabila terdapat primary adjustment yang dilakukan di Indonesia akan tetapi tidak diikuti dengan corresponding adjustment di negara lawan yang disebabkan karena tidak terdapatnya associated enterprises menurut ketentuan domestik negara lawan. Ketidakcocokan interpretasi di antara negaratersebut akan menyebabkan munculnya perpajakan berganda ekonomi.

Dengan demikian, apakah yang dimaksud dengan associated enterprises dalam pengertian internasional? Associated enterprises seharusnya adalah pengendalian secara de jure control (Dwakarsing, 2011), yaitu pengendalian yang hanya dapat dipaksakan secara hukum. Contohnya, kepemilikan saham mayoritas dan/atau pengendalian manajemen.

Konsep associated enterprises sebagai de facto control adalah tidak tepat karena de facto control sebagai interpretasi associated enterprises adalah terlalu luas sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian.

Sampai saat ini, belum ada pengaturan yang diakui secara bersama dan jelas mengatur konsep associated enterprises yang terkandung dalam ketentuan Pasal 9 tax treaty. Perubahan dalam tax treaty untuk mendapatkan interpretasi yang sama mengenai konsep associated enterprises memerlukan negosiasi yang panjang dan alot sehingga dirasakan perlu untuk dilakukan harmonisasi peraturan yang diakui secara bersama.

Harmonisasi peraturan dapat dilakukan dengan memperjelas konsep associated enterprises dalam transfer pricing guidelines. Meskipun transfer pricing guidelines bukan merupakan peraturan yang mengikat, dalam praktiknya dapat dilihat adanya tren bahwa transfer pricing guidelines tersebut mempunyai dampak pada perumusan ketentuan domestik di berbagai negara. Dengan demikian,sebagai soft lawtransfer pricing guidelines dapat menjadi medium untuk melakukan harmonisasi peraturan antarnegara.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.