Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menkumham Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Mendagri Tito Karnavian, Menaker Ida Fauziyah, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil, dan Menteri LHK Siti Nurbaya berfoto bersama dengan pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senin (5/10/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras.
JAKARTA, DDTCNews – Sebagian substansi RUU Omnibus Law Perpajakan masuk dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU oleh DPR kemarin, Senin (5/10/2020). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (6/10/2020).
Dalam rapat paripurna DPR, sebanyak 6 fraksi menerima, 1 fraksi menerima dengan catatan, dan 2 fraksi menolak pengesahan UU Cipta Kerja. UU yang terdiri atas 15 bab dan 186 pasal ini memuat klaster Perpajakan.
“Kami yakin ini akan dapat mendukung upaya kita bersama untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi dan investasi, sehingga akan dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan pada akhirnya akan mampu mendorong perekonomian nasional kita,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Selain pengesahan UU Cipta Kerja, masih ada pula bahasan mengenai implementasi nasional e-faktur 3.0. Ditjen Pajak (DJP) menyediakan hotline khusus bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang masih menemui kendala terkait dengan implementasi e-faktur 3.0.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Klaster Perpajakan memuat perubahan 4 UU, yaitu UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Adapun perubahan pada UU PPh terjadi pada Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 26. Perubahan pada UU PPN terjadi pada Pasal 1A, Pasal 4A, Pasal 9, dan Pasal 13. Selanjutnya perubahan pada UU KUP terjadi pada Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 13A (dihapus), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17B, Pasal 19, Pasal 27A (dihapus), Pasal 27B (baru), Pasal 38, dan Pasal 44B.
Selanjutnya, perubahan pada UU PDRD terjadi pada Pasal 141, Pasal 144 (dihapus), Pasal 156A (baru), Pasal 156B (baru), Pasal 157 (baru), Pasal 158, Pasal 159, dan Pasal 159A (baru). Beberapa artikel ulasannya dapat dibaca di sini. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)
Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi mengatakan terdapat saluran khusus untuk PKP yang masih membutuhkan asistensi atau menemui kendala saat menggunakan e-faktur 3.0. Konsultasi teknis seputar e-faktur 3.0 tersedia dalam layanan Kring Pajak DJP 1500200.
"Kami sudah siapkan hotline [konsultasi e-faktur 3.0] di Kring Pajak," katanya. Simak artikel ‘DJP Sediakan Hotline Khusus Konsultasi e-Faktur 3.0’. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan dua faktor yang menyebabkan serapan insentif pajak masih rendah adalah kondisi ekonomi yang masih lemah dan tingkat kepatuhan wajib pajak penerima manfaat yang masih rendah.
"Kondisi kegiatan usaha yang masih lemah memang menjadi salah satu penyebab rendahnya serapan insentif pajak yang sudah kami siapkan," katanya. (DDTCNews)
DJP menyatakan sebagian besar pengaturan bea meterai yang ada sudah tidak dapat menjawab tantangan kebutuhan peningkatan penerimaan negara. Oleh karena itu, penggantian UU Bea Meterai perlu dilakukan dengan tetap berpegang pada asas kesederhanaan, efisiensi, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Selain itu, tujuan penerapan UU Bea Meterai yang baru antara lain pertama, mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Kedua, memberikan kepastian hukum dalam pemungutan bea meterai. Ketiga, menerapkan pengenaan bea meterai secara lebih adil. Keempat, menyelaraskan ketentuan bea meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. SImak artikel ‘Simak, Penjelasan DJP Soal UU Bea Meterai yang Baru’. (DDTCNews)
Penelitian Netherlands Bureau for Economic Policy Analysis (Centraal Planbureau/CPB) mengungkapkan penerimaan pajak Indonesia dirugikan akibat adanya perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan Belanda.
Dokumen Dutch Tax Treaties and Developing Countries - A Network Analysis, CPB mengungkapkan P3B Indonesia-Belanda banyak dimanfaatkan korporasi multinasional untuk melakukan penghindaran pajak. Hal yang sama terjadi pada P3B Indonesia-Hong Kong dan Indonesia-Uni Emirat Arab. (DDTCNews/Bisnis Indonesia) (kaw)