YUNUS HUSEIN:

'Kejar Uangnya, Bukan Orangnya'

Redaksi DDTCNews
Senin, 06 Juni 2016 | 20.11 WIB
'Kejar Uangnya, Bukan Orangnya'

Mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein. (Foto: DDTCNews)

KEJAHATAN pajak kian merebak seiring dengan semakin tingginya tekanan dalam mencapai target penerimaan pajak. Mengingat begitu pentingnya peranan pajak bagi penyelenggaraan negara, maka kejahatan pajak harus dapat dicegah dan diberantas.

Lalu bagaimana kejahatan pajak dilihat dari sudut pandang hukum? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DDTCNews menemui Yunus Husein, ahli hukum yang juga mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Petikannya :

Bagaimana kejahatan pajak jika dilihat sudut pandang hukum ?

Kalau dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan itu dijelaskan kejahatan pajak sebagai tindak pidana yang dilakukan di bidang perpajakan. Seperti tidak melaporkan SPT, tidak membayar pajak dengan benar, melakukan penggelapan pajak, dan melakukan korupsi di bidang perpajakan.

Jadi dari sudut pandang hukum, kejahatan pajak ini tidak hanya melanggar UU KUP saja. Namun, juga bisa melanggar UU lainnya seperti UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Modus penggelapan pajak yang masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi misalnya penyuapan yang dilakukan oleh wajib pajak (WP) terhadap pejabat negara, agar pejabat negara tersebut dapat memperlancar proses penggelapan pajak. Modus penyuapan tersebut akan dikenakan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor.

Apa kaitannya dengan praktik pencucian uang ?

Awalnya itu dari kejahatan pajak, lalu hasil kejahatannya disembunyikan dan disamarkan asal usulnya sehingga mempersulit penyidikan. Dari situlah muncul kejahatan berikutnya berupa praktik pencucian uang (money laundering).

Jadi kalau dalam Pasal 2 UU Nomor 8 tahun 2010 itu dijelaskan bahwa kejahatan di bidang perpajakan  termasuk salah satu sumber dari tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang. Money laundering ini kejahatan serius yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian negara.

Karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan pemberantasannya. Dalam skala internasional, upaya dilakukan dengan membentuk Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) oleh negara anggota OECD pada tahun 1989.

Tugas utama FATF adalah mencegah dan memberantas kejahatan dengan menyusun rekomendasi internasional untuk memerangi money laundering. Pada tahun 1990 untuk pertama kalinya FATF mengeluarkan fourty recommedations sebagai kerangka komprehensif.

Di Indonesia satu-satunya lembaga yang menangani kasus money laundering adalah Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK merupakan lembaga independen di bawah naungan presiden.

Bagaimana mendeteksi kejahatan pajak dan money laundering?

Deteksi atas tindak kejahatan itu baru muncul di tempat terjadinya transaksi, kemudian akan masuk laporan ke PPATK terkait deteksi yang ditemukan. Untuk mendapatkan laporan informasi dan hasil deteksi, PPATK harus menjalin kerjasama yang baik dengan negara lain.

Atas laporan dan hasil deteksi tersebut PPATK akan melakukan analisis lebih lanjut. Sebab jika nilainya besar dan merugikan negara maka PPATK akan melaporkannya ke penegak hukum untuk dilakukan penyidikan dan penuntutan. Follow the money, itulah pendekatan yang paling tepat untuk mendeteksi money laundering. Jadi yang kita kejar itu uangnya bukan orangnya.

Bagaimana kaitannya dengan UU Tipikor?

Begini. Dalam hal objek yang terkena pajak berasal dari sumber yang tidak sah, misalnya tabungan yang bersumber dari tindak pidana korupsi, maka pembayaran pajak itu tidak ‘memutihkan’ objek pajak yang berasal dari sumber yang tidak sah (tindak pidana), kecuali misalnya untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam undang-undang tax amnesty.

Harta kekayaan atau uang yang berasal dari tindak pidana inilah yang menjadi sasaran dari UU Tipikor. Tindak pidana di bidang perpajakan adalah salah satu tindak pidana asal, jadi predicate crime atau offence dari tindak pidana pencucian uang.

Artinya, tindak pidana perpajakan dapat menghasilkan ‘harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana’ yang apabila ‘harta kekayaan itu disembunyian atau disamarkan asal usulnya, akan melahirkan tindak pidana pencucian uang.

Dalam situasi ini, apabila bank menemukan adanya transaksi yang mencurigakan yang ada kaitannya dengan tindak pidana perpajakan, maka bank dapat melaporkannya kepda PPATK. Dala konteks ini, bank dibebaskan dari ketentuan rahasia bank dan dibebaskan dari tuntutan pidana dan perdata.

Begitu pula jika kepolisian melakukan penyelidikan atau penyidikan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana perpajakan. Ketentuan rahasia bank yang ada dalam UU Perbankan tidak berlaku. Yang belaku adalah ketentuan yang diatur dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang.

Artinya tidak diperlukan lagi izin dari Gubernur Bank Indonesia untuk meminta keterangan dari bank. Polisi, jaksa, atau hakim dapat meminta langsung keterangan dari bank tentang keadaan keuangan seseorang yang telah dilaporkan oleh PPATK, baik sebagai tersangka maupun terdakwa.

Adakah kerja sama konkret antarlembaga dalam rangka mendeteksi korupsi dari uang pajak ini?

Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perpajakan dan pencucian uang, PPATK telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Ditjen Pajak pada 28 Oktober 2003. Kerja sama dalam bentuk pertukaran informasi, sosialisasi dan pelatihan, pertukaran staf.

Menurut MoU tersebut Pejabat pajak dimungkinkan untuk ditempatkan di PPATK baik secara permanen. Tugas pejabat pajak ini adalah membantu tugas PPATK dan DJP dalam penegakan hukum di bidang tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana perpajakan.

Jika penyidik pajak melakukan penyelidikan atau penyidikan tindak pidana perpajakan atau tindak pidana perpajakan yang terkait dengan pencucian uang, maka PPATK dapat membantu, misalnya dalam bentuk memberikan informasi yang diperlukan atau hasil analisis keuangan.

Apa faktor pendukung yang dapat mempermudah penyidikan tersebut?

Pengelolaan data base dan penyelesaian financial analysis akan sangat terbantu kalau nomor identitas tunggal (Single Identity Number/ SIN) sudah berjalan. Dengan dipergunakannya SIN akan sangat membantu Dirjen Pajak dan PPATK dalam melakukan tugas masing-masing.

Dengan adanya SIN maka upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang akan menjadi lebih efektif. Penyelidikan dan penyidikan oleh para penegak hukum juga menjadi lebih mudah. Ini yang tentu perlu segera diwujudkan.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.