Ilustrasi. (Foto: ikpi.or.id)
JAKARTA, DDTCNews - Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) memberikan masukan bagi Ditjen Pajak (DJP) atas ketentuan turunan Pasal 111 hingga Pasal 113 UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Masing-masing pasal tersebut merevisi ketentuan pada UU PPh, UU PPN, dan UU KUP.
Ketua Umum IKPI Mochamad Soebakir mengatakan peraturan pelaksanaan baik peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan menteri keuangan (PMK) memiliki peran penting dalam menentukan suksesnya implementasi UU No. 11/2020.
"Dengan terbitnya UU No. 11/2020 DJP perlu segera membuat peraturan pelaksana yang disebut pada UU itu. Sebagai mitra strategis IKPI merasa terpanggil untuk membantu tugas DJP," ujar Soebakir pada konferensi pers, Jumat (20/11/2020).
Wakil Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan pun memerinci usulan yang diberikan IKPI. Terkait dengan sanksi, IKPI mengusulkan Kementerian Keuangan menetapkan suku bunga acuan yang dapat diakses oleh publik untuk penetapan tarif bunga sanksi administrasi.
"Menurut IKPI agar mudah pakai saja BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR), jangan lending rate. Jangan pula suku bunga obligasi karena itu jangka panjang," katanya.
Dalam hal pengecualian pengenaan pajak atas penghasilan dari luar negeri yang diperoleh warga negara asing (WNA) subjek pajak dalam negeri (SPDN), IKPI mengusulkan keahlian khusus yang menjadi syarat pemberian fasilitas bagi WNA SPDN harus ditetapkan dengan syarat keahlian khusus yang nyata-nyata dibutuhkan oleh Indonesia dan dibuktikan dengan sertifikasi keahlian.
Dalam hal pengecualian dividen dari objek PPh, IKPI mengusulkan agar ada pembedaan kriteria dan jangka waktu investasi antara dividen yang diperoleh dari dalam negeri dan dividen dari luar negeri serta penghasilan setelah pajak dari bentuk usaha tetap (BUT) luar negeri.
"Karena ini adalah fasilitas bersyarat maka syarat ini harus diatasi. Lalu kontrolnya juga seperti apa? Jenis investasi dan jangka waktu ini harus jelas," ujar Ruston.
Dalam hal penurunan tarif PPh Pasal 26 atas bunga melalui PP, IKPI mengusulkan agar kebijakan ini sebaiknya dikaitkan dengan jangka waktu pinjaman. Tarif baru yang ditetapkan melalui PP juga sebaiknya tidak lebih rendah dari 10%.
Penurunan tarif juga sebaiknya hanya dibatasi pada pembayaran bunga kepada pihak luar negeri yang tidak bersedia dikenai potongan PPh Pasal 26.
"Saya dengar latar belakang klausul ini adalah karena penerima bunga tidak mau dipotong PPh Pasal 26 sehingga menjadi tanggungan pemotong. Itu namanya kita memajaki biaya, bukan penghasilan, jadi sebaiknya dibatasi saja," ujar Ruston.
Dalam hal pajak masukan yang dapat dikreditkan meski ditagih dengan ketetapan pajak, IKPI meminta kepada DJP untuk memperjelas apakah ketetapan yang diterbitkan oleh Ditjen Bea dan Cukai juga termasuk dalam definisi ketetapan pajak.
"Apakah ketetapan yang diterbitkan DJBC yakni surat penetapan tarif dan nilai pabean (SPTNP) atau notul itu termasuk? Ini supaya jelas apakah penetapan ini produknya DJP saja atau DJP dan DJBC. DJBC kan juga ada pajak dalam rangka impor (PDRI) jadi perlu ditegaskan," ujar Ruston.
Dalam hal pengkreditan pajak masukan oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang belum melakukan penyerahan atau belum berproduksi yang maksimal selama 3 tahun atau lebih untuk sektor tertentu, IKPI menyarankan kepada DJP untuk lebih selektif dalam penentuan sektornya.
"Ini harus selektif berdasarkan proses bisnisnya. Sektor yang long term project seperti infrastruktur dan real estate mungkin bisa jadi pertimbangan. Ketentuan sektor ini perlu diperjelas agar wajib pajak badan tahu apakah eligible atau tidak," kata Ruston. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.