ANALISIS PAJAK

Era Kepastian Hukum Pemeriksaan Pajak

Senin, 07 Oktober 2019 | 13:15 WIB
Era Kepastian Hukum Pemeriksaan Pajak

Deborah,
DDTC Consulting

KEPASTIAN hukum (law certainty) dalam pemeriksaan pajak merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup usaha (going concern) wajib pajak atau pelaku usaha. Kepastian hukum itu juga terkait erat dengan prinsip keadilan dalam pajak.

Terkait dengan kepastian hukum ini, Direktur Jenderal Pajak (DJP) sendiri telah menelurkan Surat Edaran No. SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan yang diyakini dapat membenahi sistem dan mekanisme pemeriksaan pajak.

Kebijakan baru tersebut juga diharapkan mengurangi potensi sengketa pajak yang berkepanjangan. Adapun berdasarkan data statistik Pengadilan Pajak, memang untuk 2018 terdapat kenaikan berkas sengketa pajak yang diajukan banding dan/atau gugatan 40,7% dibandingkan dengan tahun 2017.

Seperti kita ketahui, pajak merupakan tulang punggung penerimaan negara. Pajak memiliki fungsi vital untuk membiayai pembangunan negara. Untuk itu, setidaknya ada tiga faktor yang perlu dilaksanakan agar tercipta kepastian hukum dalam pemeriksaan pajak sekaligus mencapai target penerimaan pajak.

Pertama, pemeriksaan pajak harus dikembalikan kepada rohnya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sebagai konsekuensi logis diterapkannya sistem self-assessment di Indonesia. Dengan kata lain, pemeriksaan pajak adalah perwujudan upaya untuk meningkatkan kepatuhan.

Wajib pajak yang memiliki perilaku selalu patuh harus dipermudah dan mendapatkan pelayanan prima. Sebaliknya, bagi pihak yang memutuskan untuk tidak patuh, segala upaya dilakukan untuk memaksa agar wajib pajak tersebut patuh (OECD, 2004).

Kedua, temuan pemeriksaan pajak harus dilandaskan kepastian hukum. Hal itu berarti tidak boleh ada penafsiran di luar hukum dalam pemeriksaan. Kepastian (certainty) berarti setiap temuan harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Kepastian hukum menjadi salah satu kunci untuk menciptakan sistem pajak yang ideal (Riedl, 2019) serta dapat menjamin tercapainya keadilan bagi wajib pajak. Namun, tanpa adanya kepastian hukum, sistem yang adil pun belum tentu akan berdampak positif bagi semua pihak (Mansury, 1996).

Ketiga, memaksimalkan Automatic Exchange of Information (AEoI) untuk membidik wajib pajak yang belum berniat patuh. Hal ini berarti, pemeriksa bisa menggunakan skema AEoI untuk mengumpulkan informasi terkait dengan aktivitas bisnis wajib pajak.

OECD menyatakan transparansi melalui AEoI telah terbukti meningkatkan kepatuhan pajak. Setidaknya, ada tambahan penerimaan senilai Rp1.532 triliun rupiah dalam bentuk pajak, bunga, dan denda dalam kurun waktu 2009-2019 bagi negara-negara OECD maupun G20 (DDTCNews, 2019).

Era Kepastian Hukum
ASAS kepastian hukum ini sebenarnya juga dapat dipelajari dari pengalaman di negara lain. Berkaca pada sistem pajak di Korea Selatan, pemeriksa pajak hanya dapat menerbitkan surat ketetapan pajak apabila wajib pajak terbukti melakukan kesalahan. Prosedur penerbitan surat ketetapan pajak pun sangatlah ketat.

Segala bentuk koreksi pajak harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan bukan berdasarkan subjektivitas pemeriksa. Tidak hanya kepatuhan sukarela dari wajib pajak yang muncul dari sistem itu, tetapi juga menurunnya jumlah sengketa pajak di Pengadilan Pajak.

Kemudian, apabila melihat praktik di India, dalam kasus tertentu ketika keputusan yang diambil otoritas pajak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diputuskan pengadilan, otoritas pajak tersebut dapat diberikan hukuman untuk membayar sejumlah biaya tertentu kepada pemerintah.

Praktik mendenda otoritas pajak ini tentunya untuk memberikan rambu-rambu agar jangan sampai sistem pajak yang dibangun hanya bergantung terhadap diskresi otoritas pajak sehingga rentan untuk disalahgunakan (Cogan, 2011).

Akhirnya, membangun kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak harus dimulai dengan cara penegakan kepatuhan pajak yang diatur secara adil (Lemmens, 2017). Kepatuhan pajak akan meningkat ketika wajib pajak menganggap otoritas pajak berlaku adil, masuk akal, serta ketika wajib pajak memiliki kepastian hukum atas kewajiban pajak yang timbul baginya (Evans, et. al., 2018).*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

08 Oktober 2019 | 12:19 WIB

Kepastian hukum dan keadilan hukum merupakan 2 sisi neraca yg hrs seimbang. Fungsi Keberatan seyogyanya dpt mjd filter dari kualitas hasil pemeriksaan oleh pihak DJP.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 08 Mei 2024 | 17:31 WIB KANWIL DJP KEPULAUAN RIAU

Ada Sita Serentak, DJP Amankan Aset Milik Wajib Pajak Rp2 Miliar

Rabu, 08 Mei 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Memahami Lagi Tujuan Pemeriksaan Pajak beserta Tahapannya

Selasa, 07 Mei 2024 | 12:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Prioritaskan Pemeriksaan terhadap SPT yang Lebih Bayar dan Rugi

BERITA PILIHAN