FLORIDA, DDTCNews – Reformasi pajak Amerika Serikat (AS) resmi bergulir pada pembukaan tahun 2018. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, kebijakan ini menimbulkan beragam implikasi dan respons dari negara lain.
Ibarat dua sisi mata uang, rezim pajak baru AS ini menimbulkan efek kompetisi dalam hal pengenaan tarif pajak antarnegara. Namun, juga dapat dilihat sebagai sebuah upaya koordinasi pajak skala global yang dilakukan pemerintah AS melalui kebijakan domestiknya.
Pakar pajak dari Universitas Florida Mindy Herzfeld mempunyai narasi tersendiri terkait dua sisi kebijakan reformasi pajak ini. Merujuk buku ‘Kebijakan Pajak Internasional: Antara Persaingan dan Kerja Sama' karya Tsilly Dagan dari Universitas Bar-Ilan, Israel, dia mencoba membedah kebijakan pajak AS sebagai sebuah upaya koreksi atas praktik kerja sama pajak multi-negara.
“Sistem pajak multilateral sering kali gagal menghasilkan kesepakatan yang adil untuk semua negara dan mengabaikan partisipasi politik. Oleh karena itu, kompetisi pajak internasional memainkan peran penting dalam mengikis ketidakadilan yang terjadi dalam koordinasi internasional,” kata Herzfeld merujuk buku karya Tsilly Dagan.
Lebih lanjut, Herzfeld melihat narasi soal kompetisi pajak menjadi salah satu bagian penting dari kebijakan reformasi pajak AS. Tarif pajak korporasi turun menjadi 21% dan pengesahan sistem pajak teritorial menjadi pesan jelas negeri Paman Sam untuk merangsang geliat ekonomi domestik dan memastikan kesetaraan rezim pajak dengan negara lainnya.
“Tindakan unilateral ini kemudian direspons negara lain. Tiongkok menerapkan relaksasi pajak dan memberikan kelonggaran pajak bagi perusahaan yang melakukan re-investasi di dalam negeri. Begitu juga dengan Australia dan Israel yang merevisi sistem pajak pasca reformasi pajak AS,” terangnya dilansir Tax Notes International.
Merujuk proyek anti praktik penghindaran pajak dan penggerusan basis pajak (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS), setiap tindakan unilateral bukan langkah ideal dalam interaksi sistem pajak antarnegara. Dalam rencana aksi BEPS, secara tegas mengatakan bahwa tindakan sepihak alias unilateral tanpa kolaborasi dapat menyebabkan kekacauan pajak global.
Namun benarkah apa yang sedang dilakukan oleh AS ini akan mengarah pada kekacauan pajak? Pada sisi yang lain, kebijakan pajak ini juga dapat dilihat sebagai upaya kolaboratif atas inisiatif sendiri. Hal ini tercermin dari diakomodasinya beberapa rekomendasi dalam proyek BEPS.
“Kongres memberikan penghormatan pada proyek BEPS. Hal itu terbukti pada perubahan sistem pajak yang mengadopsi beberapa rekomendasi BEPS, salah satunya adalah pembatasan biaya bunga yang menguntungkan beberapa negara,” terang Herzfeld.
Oleh sebab itu, kompetisi pajak ala AS ini dapat dilihat sebagai koreksi bahwa pola kerja sama dan kolaboratif tidak selalu menguntungkan semua pihak. Narasi Herzfeld berdasarkan buku Tsilly Dagan ini menggambarkan kerja sama pajak internasional seringkali hanya alat untuk melayani kepentingan negara maju alias keuntungan sepihak. Sementara itu, ada sisi lain dari kompetisi pajak yang bisa memberikan manfaat meski sukar untuk melihatnya.
“Intinya adalah hanya ada satu hal yang pasti terjadi. Lanskap kebijakan pajak internasional dalam lima tahun ke depan seharusnya akan sama meresahkannya dengan lima tahun terakhir ini,” tutupnya. (Amu)