DHAKA, DDTCNews – Baru-baru ini sengketa pajak perusahaan telekomunikasi kembali mencuat menjadi perbincangan publik. Pasalnya, berdasarkan data yang dimiliki pemerintah, 4 operator telepon seluler yang didukung pihak asing ini memiliki tunggakan pajak yang jika ditotal mencapai US$500 juta atau Rp6,5 triliun.
Sementara itu, pihak perusahaan tersebut menyangkal, dan mengatakan kalau utang pajak mereka diperkirakan hanya sekitar 0 sampai dengan US$ 50 juta (Rp652 miliar).
Para pakar analis telekomunikasi memperingatkan bahwa permasalahan ini dapat memberikan tekanan buruk terhadap industri telekomunikasi yang merupakan sumber pendapatan utama pemerintah Bangladesh.
“Industri telekomunikasi menjadi tumpuan pendapatan negara ini. Pendapatan pajaknya US$1,43 miliar (Rp18,6 triliun) pada 2015, namun hingga sengketa hukum ini memasuki tahun ke-4 belum juga terdapat penyelesaiannya,” ungkap pernyataan resmi dalam Economictimes, Minggu (30/10).
Kasus ini mulai meledak pada 2012, di mana 4 perusahaan tersebut terdiri dari anak perusahaan Norwegian Telenor Grameen Phone, Orascom Mesir Telecom Banglalink, Robi, perusahaan gabungan Malaysia-Jepang Robi Axiata Ltd, anak perusahaan Bharti Airtel India.
Di lain pihak, Pemerintah Bangladesh mengatakan perusahaan-perusahaan tersebut melanggar hukum dengan menjual SIM cards lama tanpa pemberitahuan kepada mereka. Kemudian atas penjualan tersebut perusahaan tidak membayarkan pajaknya sejak Juli 2009 hingga Desember 2011.
Selain itu, berdasarkan dokumen legal dalam kasus tersebut, para pembuat kebijakan pemerintah juga menuduh bahwa perusahaan-perusahaan tersebut telah menyembunyikan informasi pelanggan untuk menutupi permasalahannya.
Hingga saat ini, baik pemerintah maupun otoritas pajak menolak untuk memberikan komentar, sementara itu kasus ini masih dikaji oleh pengadilan.
Sebagian besar dari 128 juta pelanggan telepon genggam di Bangladesh merupakan pelanggan dari satu di antara ke-4 perusahaan telepon seluler yang terlibat dalam sengketa pajak tersebut.
Abu Saeed Khan, seorang ahli telekomunikasi Bangladesh mengatakan tidak terpecahkannya masalah ini akan mengakibatkan perusahaan-perusahaan telekomunikasi dan para investor menjadi lebih waspada untuk membangun jaringan telepon seluler di pedesaan.
“Kepercayaan bisnis sedang menurun. Para pembuat kebijakan Asia tidak mengerti bagaimana memajaki perusahaan-perusahaan telekomunikasi secara efektif, dan pada akhirnya akan memungut pajak lebih banyak” jelasnya. (Amu)