Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Adanya profil pegawai Ditjen Pajak (DJP) akan meningkatkan kualitas pengawasan dan pemeriksaan pajak. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (27/7/2023).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan dengan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (SIAP) atau coretax administration system (CTAS), DJP dapat membuat profil dari tiap pegawai berdasarkan pada pekerjaan yang pernah dilakukan.
Dia memberi contoh ada seorang pegawai yang telah melakukan pemeriksaan terkait dengan sektor kelapa sawit serta minyak dan gas bumi (migas). Data historis tersebut terkumpul dan dimiliki oleh DJP dalam sistem inti administrasi perpajakan sehingga menjadi satu profil pegawai.
“Akan match dengan kebutuhan antara pemeriksaan yang dibutuhkan dengan profile masing-masing [pegawai]. Kita akan bisa lebih fokus lagi melakukan pengawasan dan pemeriksaan berdasarkan resource yang kita miliki,” ujar Nufransa.
Seperti diketahui, sebelum implementasi nasional, DJP akan melakukan uji coba sistem inti administrasi perpajakan yang baru. Dengan adanya CTAS, DJP juga akan memperkenalkan adanya akun wajib pajak (taxpayer account). Simak ‘ Simak pula ‘Mulai 1 Mei 2024, DJP Implementasikan Akun Wajib Pajak’.
Selain mengenai peluang peningkatan kualitas pengawasan dan pemeriksaan dengan adanya profil pegawai DJP, ada pula ulasan terkait dengan rasio pajak terhadap produk domestik bruto. Kemudian, ada bahasan tentang dana bagi hasil perkebunan sawit.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan dengan adanya profil pegawai, DJP dapat mengoptimalkan sumber daya internal untuk proses pengawasan dan pemeriksaan pajak.
“Jadi tidak lagi berdasarkan hanya sekadar karena senioritas, pangkat, dan lain sebagainya, tapi sudah berdasarkan kemampuan dan kapabilitas dari masing-masing. Berdasarkan pengalaman historical dan juga catatan pekerjaan yang pernah dilakukan,” jelas Nufransa. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan berharap momentum tahun politik dapat berdampak positif terhadap penerimaan pajak. Pasalnya, berbagai aktivitas konsumsi dalam rangka pemilu serentak 2024 juga dapat berdampak baik terhadap penerimaan pajak.
"Mudah-mudahan justru pada saat pemilu terjadi banyak belanja, contohnya dari kampanye baik itu kampanye untuk pilkada, pilpres, dan lain sebagainya. Tentu saja ini perputaran uang juga akan makin banyak," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti. (DDTCNews)
Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan PP 38/2023 yang menjadi dasar bagi pemerintah pusat untuk memberikan dana bagi hasil (DBH) sawit kepada daerah. PP 38/2023 diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 123 ayat (4) UU HKPD.
Merujuk pada Pasal 2 PP 38/2023, DBH sawit merupakan DBH yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan dari bea keluar dan pungutan ekspor atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, serta produk-produk turunannya.
Pagu DBH sawit yang ditetapkan untuk setiap tahun anggaran paling rendah sebesar 4% dari realisasi bea keluar dan pungutan ekspor atas kelapa sawit dan produk turunannya.
Sebesar 60% dari pagu DBH sawit dibagikan kepada kabupaten/kota penghasil. Provinsi mendapatkan DBH sawit sebesar 20%. Sementara itu, kabupaten atau kota lain yang berbatas langsung dengan kabupaten/kota penghasil mendapatkan DBH sawit sebesar 20%.
Sebesar 90% dari alokasi DBH sawit untuk setiap daerah ditentukan berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan daerah penghasilan. Lalu, sisanya, 10% ditetapkan berdasarkan kinerja pemda dalam menurunkan tingkat kemiskinan, pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan, atau kinerja lainnya. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat rasio pajak Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan capaian negara-negara lain di kawasan Asia dan Pasifik.
Merujuk pada Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023, rasio pajak Indonesia pada 2021 setara dengan rasio pajak Vanuatu (10,9%). Rasio pajak Indonesia hanya lebih unggul bila dibandingkan dengan Bhutan (10,7%), Pakistan (10,3%), dan Laos (9,7%).
"Rasio pajak Indonesia pada 2021 adalah sebesar 10,9%, di bawah rata-rata di kawasan Asia dan Pasifik yang sebesar 19,8%. Rasio pajak Indonesia juga lebih rendah dari rata-rata OECD yang sebesar 34,1%," tulis OECD dalam laporannya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai digitalisasi telah efektif mengoptimalkan penerimaan pajak daerah. Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan digitalisasi pajak daerah kini marak diterapkan untuk mencegah kebocoran penerimaan. Digitalisasi mampu menutup celah korupsi.
"Begitu masuk ke kasir, langsung di pemda tercatat pajak hotel, pajak restoran, dan lain sebagainya. Dia enggak ada peluang untuk mengkorupsi uang yang dari masyarakat," katanya. (DDTCNews) (kaw)