Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Rencana pemerintah untuk memangkas ambang batas (threshold) omzet usaha yang dapat memanfaatkan tarif PPh final UMKM 0,5% dikhawatirkan akan menambah beban pelaku UMKM. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan utama media massa pada hari ini, Kamis (19/12/2024).Â
Harian Kompas misalnya, menjadikan topik tersebut sebagai headline utama pada hari ini. Seperti diketahui, pemerintah berencana menurunkan threshold omzet PPh final UMKM dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar. Artinya, hanya pelaku usaha dengan omzet sampai dengan Rp3,6 miliar saja yang bisa memanfaatkan tarif 'flat' PPh sebesar 0,5%.Â
Pemerintah sendiri mengeklaim penurunan threshold PPh final UMKM akan memperluas basis pajak dari pelaku UMKM. Ujungnya, penerimaan pajak juga bisa diperkuat di tengah lesunya keuangan negara.Â
Dengan diturunkannya ambang batas omzet PPh final UMKM menjadi Rp3,6 miliar maka makin banyak pelaku UMKM yang akan 'tersentuh' kewajiban pajak berdasarkan ketentuan umum. Mereka tidak lagi mendapat perlakuan spesial berupa fasilitas PPh final 0,5%.Â
Pelaku UMKM yang tidak lagi masuk dalam penikmat PPh final 0,5% perlu menjalankan kewajiban pajaknya berdasarkan Pasal 17 UU PPh. Mereka perlu melakukan pembukuan dan menghitung pajak terutang menggunakan tarif umum sesuai dengan penghasilan netonya.Â
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero meminta pemerintah lebih transparan dalam menjelaskan urgensi penurunan ambang batas PPh final UMKM 0,5%.Â
Pada prinsipnya, ujarnya, sudah banyak pelaku UMKM yang sebenarnya sudah siap menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan umum UU PPh. Hanya saja, dia meminta pemerintah juga melibatkan pihak UMKM dalam menyusun kebijakan ini agar tidak melenceng dari kebutuhan pelaku UMKM.Â
"Jangan tiba-tiba menurunkan threshold, seolah-olah kami tak mengerti apa-apa," kata Edy.Â
Edy juga berharap pemerintah masih memberikan pembebasan pajak terhadap pelaku UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta. Menurutnya, fasilitas itu sangat penting sebagai stimulus bagi pelaku UMKM yang baru merintis usahanya.
Selain bahasan mengenai wacana penurunan threshold PPh final UMKM, ada pula pemberitaan media mengenai perbandingan tarif PPN di Indonesia dan negara lain di Asean, risiko naiknya rasio utang, hingga implementasi PSAK 117.
World Bank mendorong pemerintah untuk memangkas ambang batas atau threshold omzet pengusaha kena pajak (PKP) dan PPh final UMKM.
Menurut World Bank, threshold PKP dan PPh final UMKM yang saat ini senilai Rp4,8 miliar perlu dipangkas menjadi tinggal Rp500 juta saja. Threshold senilai Rp500 juta tersebut lebih sesuai dengan rata-rata threshold di negara berpenghasilan menengah.
"Pengurangan threshold PKP dari Rp4,8 miliar menjadi Rp500 juta akan meningkatkan jumlah pelaku usaha yang masuk ke dalam sistem pajak dan mendorong interaksi bisnis formal antara perusahaan kecil dan besar," tulis World Bank dalam laporan bertajuk Indonesia Economic Prospects December 2024: Funding Indonesia's Vision 2045. (DDTCNews)
Dirjen Pajak Suryo Utomo turut memberi penjelasan mengenai tarif PPN di Indonesia yang lebih tinggi dari kebanyakan negara di Asean, terutama Singapura dan Vietnam.
Suryo mengatakan setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda mengenai sistem pajak yang berlaku di negaranya. Menurutnya, tarif PPN di Indonesia memang lebih tinggi, tetapi pemerintah juga memberikan berbagai fasilitas untuk masyarakat.
Suryo mengatakan kebijakan PPN di setiap negara dapat berbeda, baik dari sisi tarif maupun cakupan barang dan jasa yang dikenakan. Sejalan dengan kedua aspek tersebut, suatu negara juga dapat sekalian mengatur soal fasilitas PPN yang diberikan. (DDTCNews)
Pemerintah perlu berhati-hati terhadap risiko naiknya rasio utang negara. Naiknya rasio utang bakal mengancam stabilitas ekonomi jika tidak dibarengi dengan strategi pengelolaan utang yang lebih selektif.Â
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah Rp8.680,13 triliun per akhir November 2024. Angka itu naik Rp119,78 triliun atau 1,39% jika dibandingkan dengan posisi pada Oktober 2024, yakni RP8.560,35 triliun.Â
Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran Dradjad Wibowo menyampaikan kekhawatirannya terkait dengan rasio utang negara yang telah mencapai 39% PDB. Dia menilai memang perlu ada perubahan fundamental dalam pengelolaan rezim utang dan pembayaran utang pemerintah. (Kontan)
Mulai awal 2025, industri asuransi sudah harus menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 117 dalam laporan keuangannya.Â
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menyampaikan implementasi PSAK 117 membuat perusahaan asuransi harus menjalankan berbagai persiapan sehingga membuat pengeluaran bertambah. Hal ini membuat ekuitas perusahaan ikut tergerus.Â
Togar menyampaikan rata-rata nilai investasi yang dikeluarkan perusahaan asuransi untuk persiapan PSAK 117 berkisar antara Rp10 miliar hingag Rp150 miliar. Hal ini disebabkan penerapan PSAK 117 memakai teknologi khusus yang harganya lebih mahal. (Kontan)
Bank Indonesia (BI) memutuskan kembali menahan suku bunga acuan atau BI-Rate di level 6%. Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan alasan BI masih menahan suku bunga acuan lantaran masih fokus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.Â
"Kami akan fokus dulu stabilitas rupiah karena ketidakpastian global meningkat. Bukan berarti tidak ada upaya menurunkan suku bunga," kata Perry.Â
Di sisi lain, The Federal Reserve (The Fed) menutup 2024 dengan kembali memangkas suku bunga. Bank Sentral Amerika Serikat itu menyampaikan sinyal kekhawatiran terhadap inflasi. (Kontan/Bisnis Indonesia)