BANGKOK, DDTCNews – Pemerintah Thailand segera merilis undang-undang pajak baru mengenai pengenaan pajak atas transaksi bisnis online yang berasal dari luar negeri.
Menurut pernyataan resminya, amandemen undang-undang tersebut dilakukan guna memperluas basis pajak, menyusul adanya pertumbuhan bisnis online yang semakin meningkat. Hal ini juga dipicu oleh kebijakan serupa yang dibuat beberapa negara lain.
“Peraturan yang ada saat ini hanya mengizinkan pemberlakuan pajak pada perusahaan yang berlokasi di Thailand saja, perusahaan asing tidak dikenakan pajak atas transaksi lintas batasnya,” ungkap pernyataan dalam laporan yang dilansir oleh bangkokpost, Selasa (25/10).
Amandemen yang diajukan dalam undang-undang tersebut akan berfokus pada pajak pembayaran online untuk barang dan jasa. Salah satu contohnya seperti pemesanan hotel melalui sistem pembayaran online seperti Apply Pay, Ali Pay, V Chat Pay, financial tecnology/fintech firms, dan pembayaran menggunakan bitcoin.
Departemen Penerimaan mengatakan berdasarkan hasil pantauan pembayaran pajak dari operator secara online dan e-commerce selama dua tahun terakhir, telah menemukan bahwa hanya terdapat 2.000 perdagangan operator digital dalam sistem pajak formal.
Penanggung Jawab Pemungutan Pajak Departemen Penerimaan Prasong Poontaneat mengatakan dari jumlah tersebut pajak yang berhasil didapat sebesar ฿300 juta atau Rp111 miliar dari operator online.
Padahal saat ini banyak bisnis-bisnis baru yang bermunculan pada platform online. “Kami tidak ingin merusak sistem e-commerce, tapi kami ingin membangun sistem perpajakan yang adil,” ungkapnya.
Banyak negara di seluruh dunia sedang mempersiapkan untuk mengenakan pajak atas bisnis online. Karena itu, saat ini Departemen Penerimaan Thailand sedang mempelajari perpajakan bisnis online di beberapa negara, termasuk India, yang mengenakan pajak sebesar 6% dari pendapatan penjualan.
Di seluruh dunia, pemerintah menghadapi kendala hukum untuk menerapkan pajak bisnis online. Prasong mengatakan, sejumlah negara, termasuk Inggris, Jepang, Australia dan Italia sedang meneliti kemungkinan metode yang tepat untuk penerapan pajak bisnis online.
Oleh karena itu, pemajakan atas bisnis online di era ekonomi digital ini menjadi tantangan besar bagi banyak negara di dunia. Berdasarkan catatan DDTCNews, isu ini telah dibahas oleh negara-negara anggota OECD dan G20, termasuk salah satunya Indonesia yang dituangkan dalam proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Sebagai tambahan informasi, mengingat pentingnya memahami aspek pemajakan atas transaksi bisnis dalam era ekonomi digital, DDTC Academy menyelenggarakan seminar yang mengangkat tema Taxation of Digital Economy and E-Commerce. Seminar ini akan membahas lebih dalam bagaimana isu-isu yang terjadi dalam ekonomi digital saat ini dan bagimana penerapan perpajakannya. (Amu)