LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Tax Ratio Indonesia, Bisakah Melaju setelah Pemilu 2024?

Redaksi DDTCNews | Jumat, 03 November 2023 | 10:00 WIB
Tax Ratio Indonesia, Bisakah Melaju setelah Pemilu 2024?

Erlina Fitriani,  
Tanjungpinang, Kepulauan Riau

PEMILU merupakan implementasi kedaulatan rakyat yang digelar secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilu yang berkualitas akan mencetak pemimpin dan wakil rakyat yang mumpuni dalam penyelenggaraan negara. Pemimpin yang terpilih itulah yang akan menentukan arah kebijakan pemerintah, termasuk berkaitan dengan penerimaan negara.

Bicara soal penerimaan, pajak merupakan sumber penerimaan utama bagi Indonesia. Jadi, sebesar berapa besar porsi penerimaan pajak nantinya secara tidak langsung bergantung pada hasil pemilu 2024.

Kinerja penerimaan sebuah negara bisa dilihat dari skor tax ratio atau rasio pajak. Tax ratio diperoleh dengan membandingkan antara penerimaan pajak yang dikumpulkan pada suatu masa dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa yang sama. PDB merupakan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara, dikurangi nilai barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. PDB terdiri dari belanja konsumen, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor bersih (ekspor dikurangi impor).

Tantangan Tax Ratio Indonesia

TAX ratio di Indonesia cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asean. Pemerintah menargetkan tingkat tax ratio pada 2024 berada di rentang 9,91% hingg 10,81%. Hal ini sesuai dengan yang tertuang di dalam dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2024.

Perlambatan ekonomi global menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam meningkatkan tax ratio. Selain itu, tingkat kepatuhan wajib pajak, tren konsumsi digital yang tidak dikenakan pajak, dan dinamika harga komoditas turut menjadi tantangan bagi tax ratio.

Melihat tantangan-tantangan tersebut, pemilu 2024 seolah memberikan angin segar. Pemimpin dan wakil rakyat sebagai output dari pemilu yang berkualitas diharapkan mampu membawa perekonomian nasional ke arah yang lebih sehat. Peluang perbaikan tax ratio juga sudah didukung payung hukum yang kuat, yakni Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Strategi Meningkatkan Tax Ratio

FAKTOR makro dan mikro berpengaruh pada besarnya tax ratio. Faktor yang bersifat makro, antara lain tarif pajak, tingkat pendapatan per kapita, dan tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang baik. Adapun faktor mikro yang memengaruhi besarnya tax ratio, antara lain tingkat kepatuhan wajib pajak, komitmen dan koordinasi antarlembaga negara, serta kesamaan persepsi antara wajib pajak dan fiskus.

Strategi utama untuk meningkatkan tax ratio adalah memastikan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terjaga. Pascapemilu, peningkatan penerimaan negara perlu dioptimalkan. Dengan penerimaan yang meningkat maka belanja negara juga dipastikan ikut meningkat. Selanjutnya, belanja yang naik akan berimbas pada PDB yang meningkat pula. PDB bisa tumbuh melebihi belanja negara apabila belanja pemerintah diarahkan ke sektor domestik.

Strategi penyusunan kebijakan fiskal inilah yang akan mencerminkan kepiawaian seorang pemimpin dalam melindungi sektor domestiknya sekaligus menggandakan efek positif atas kebijakan yang diambilnya.

Tren pergeseran perilaku konsumsi digital juga harus menjadi perhatian. Saat penulis menyusun artikel ini, jual beli melalui marketplace tidak dikenakan pajak. Padahal, pengenaan pajak pada transaksi digital bisa meningkatkan penerimaan pajak yang berujung pada naiknya angka tax ratio. Namun, pengenaan pajak atas transaksi digital perlu pertimbangan yang matang agar ekosistem digital tetap berjalan secara kondusif.

Asas certainly dan efficiency perlu diperhatikan dalam kebijakan ini. Asas certainly diwujudkan dengan membuat peraturan teknis yang lengkap dan komprehensif. Sedangkan asas efficiency, diwujudkan agar kebijakan ini tidak merugikan salah satu pihak di dalam ekosistem transaksi digital tersebut.

Selanjutnya, stabilitas harga komoditas juga perlu jadi fokus pemimpin. Alasannya, naik turunnya harga komoditas berpengaruh banyak terhadap penerimaan pajak. Kemampuan bernegosiasi untuk menandatangani kontrak penjualan komoditas dengan harga yang pantas adalah hal yang ditunggu dari pemimpin hasil pemilu. Jika negosiasi ini berhasil, bukan tidak mungkin penerimaan pajak yang berasal dari pajak korporasi, PPN, maupun PPh Pasal 21 juga meningkat.

Tak kalah penting, pemerintahan di masa mendatang perlu meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan menjadi kunci peningkatan tax ratio. Tingkat kepatuhan wajib pajak yang meningkat nantinya berimbas terhadap penurunan tax gap.

Tax gap muncul sebagai akibat dari ketidakpastian aturan pajak sehingga ambiguitas dan multitafsir sering terjadi. Pascapemilu nanti, pemimpin negeri yang terpilih harus melanjutkan reformasi perpajakan yang berfokus pada eliminasi tax evasion (pengelakan pajak) maupun tax avoidance (penghindaran pajak).

Jadi, apakah tax ratio bisa melaju pascapemilu? Semuanya bergantung pada siapa yang Anda pilih nanti.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 06 Mei 2024 | 17:19 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Moeldoko: Insentif Mobil Hybrid Bisa Hambat Industri Mobil Listrik

Senin, 06 Mei 2024 | 17:00 WIB KAMUS PAJAK

Apa Itu Akuntan Publik?

Senin, 06 Mei 2024 | 16:38 WIB KINERJA EKONOMI KUARTAL I/2024

Data BPS: Pengeluaran Pemerintah dan LNPRT Tumbuh Double Digit

BERITA PILIHAN