KEBIJAKAN PAJAK DAERAH

Tarif Pajak Hiburan Dikeluhkan Pelaku Usaha, Begini Pandangan Pakar

Dian Kurniati
Senin, 15 Januari 2024 | 17.25 WIB
Tarif Pajak Hiburan Dikeluhkan Pelaku Usaha, Begini Pandangan Pakar

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) salah satunya telah mengubah ketentuan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan.

Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan tarif PBJT atas jasa hiburan pada UU HKPD secara umum lebih ringan karena ditetapkan maksimal 10%. Namun, khusus hiburan berupa diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, tarif pajaknya paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

"Kalau mau fair, tarif pajak hiburan di UU HKPD relatif lebih ringan secara umum karena dulu batas maksimumnya 35%. Memang untuk hiburan khusus yang bersifat dewasa, tarifnya lebih tinggi," katanya dalam acara Indonesia Menyapa Siang Pro3 RRI, Senin (15/1/2024).

Sebelum ada UU HKPD, lanjut Bawono, Indonesia memiliki UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang menjadi koridor bagi pemda dalam merumuskan kebijakan pajak daerahnya. Pada UU PDRD, batas atas tarif pajak hiburan mencapai 35%.

Melalui UU HKPD yang berlaku mulai 5 Januari 2024, tarif PBJT atas jasa kesenian dan hiburan justru diberikan relaksasi.

Jasa kesenian dan hiburan yang dikenai PBJT dengan tarif maksimal 10% meliputi tontonan film atau audiovisual yang dipertontonkan langsung di lokasi tertentu; pagelaran seni, musik, tarif, dan busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; sulap; sirkus; olahraga permainan yang menggunakan ruang ataupun peralatan untuk olahraga dan kebugaran; rekreasi; hingga panti pijat.

Di sisi lain, pada UU PDRD, tarif pajak hiburan atas diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa diatur paling tinggi 75%, tanpa ada batas bawah. Namun, pada UU HKPD, tarif diatur paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Bawono memandang kebijakan tarif tersebut semestinya akan dapat meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam memungut dan menyetorkan pajak hiburan. Sebab, kontribusi penerimaan pajak hiburan ternyata tidak besar walaupun ada jenis hiburan yang dikenakan tarif tinggi.

Data statistik pada 2016-2019 menunjukkan kontribusi pajak hiburan terhadap total penerimaan pajak daerah rata-rata tidak lebih dari 2%. Kontribusi pajak hiburan tersebut jauh di bawah jenis pajak lain seperti pajak hotel dan pajak restoran.

"Sektor pajak hiburan khusus, dugaan saya selama ini kepatuhannya juga belum optimal. Pada jenis hiburan dewasa tersebut, apakah selama ini data-data potensinya sudah terdeteksi atau belum," ujarnya.

Bawono pun menilai penolakan pelaku usaha terhadap pengaturan batas bawah tarif PBJT atas jasa hiburan sebetulnya dapat dihindari apabila pemerintah melakukan 3 hal.

Pertama, membuat definisi setiap jenis jasa hiburan dalam UU HKPD secara lebih jernih untuk menghindari interpretasi yang berbeda-beda di antara pemda.

Kedua, mendengarkan masukan publik, terutama pelaku usaha, mengenai tantangan dan kondisi di lapangan sebelum merumuskan kebijakan pajak atas jasa hiburan. Ketiga, mempertimbangkan masukan publik dalam merumuskan tarif pajak atas jasa hiburan.

Melalui proses penyusunan yang proporsional, lanjut Bawono, setiap kebijakan pajak akan diterima publik dengan baik. Selain itu, kepatuhan wajib pajak juga dapat meningkat.

"Jangan sampai juga kebijakan tarif yang terlalu tinggi malah justru mendorong orang untuk bergerak ke shadow economy, termasuk di hiburan khusus ini," tuturnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.