Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu. (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah tidak akan terburu-buru untuk melakukan revisi skema insentif pajak mengingat belum ada titik terang mengenai implementasi konsensus perpajakan global, baik  Pilar 1: Unified Approach maupun Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan banyak negara anggota Inclusive Framework yang beranggapan Pilar 1 dan Pilar 2 ialah satu kesatuan. Artinya, implementasi kedua pilar tersebut tidak dapat dilakukan secara terpisah.
"Ini kan masih akan alot ya. Tahun ini kan enggak berhasil. Pilar 1 dan Pilar 2 oleh banyak negara dilihat bukan sebagai hal yang terpisah. Banyak negara yang melihat implementasinya itu sebaiknya simultan," katanya, dikutip pada Rabu (2/11/2022).
Dengan demikian, konsensus perpajakan global tersebut belum dapat diimplementasikan jika hanya salah satu pilar saja yang disepakati.
Untuk itu, lanjut Febrio, pemerintah belum akan terburu-buru merevisi skema insentif perpajakan yang saat ini berlaku ataupun mengenakan pajak minimum domestik berdasarkan ketentuan qualified domestik minimum top-up tax (QDMTT) pada Pilar 2.
"Semuanya tidak bisa terburu-buru. Semuanya harus kami siapkan dengan baik. Ini adalah bagian dari koordinasi dan negosiasi. Tentunya kami akan mengedepankan kepentingan domestik," tuturnya.
Febrio memandang pemerintah sesungguhnya senantiasa mengevaluasi insentif pajak yang berlaku guna menjaga efektivitas dari insentif tersebut.
Untuk diketahui, Pilar 2 akan menjadi dasar pengenaan pajak minimum global dengan tarif sebesar 15%. Pajak minimum akan diberlakukan atas perusahaan multinasional dengan penerimaan di atas €750 juta.
Bila tarif pajak efektif perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tak mencapai 15% maka top-up tax berhak dikenakan oleh yurisdiksi tempat korporasi multinasional bermarkas. Pengenaan top-up tax dilakukan berdasarkan income inclusion rule (IIR).
Menurut OECD, insentif pajak yang bakal terdampak signifikan oleh pajak minimum global adalah tax holiday.
Oleh karena itu, insentif-insentif berbasis biaya (expenditure-based tax incentive) seperti tax allowance dan investment allowance perlu lebih banyak diberikan mengingat dampak pajak minimum global terhadap insentif jenis ini masih bisa dibatasi.
Sebagai solusi jangka pendek, OECD meminta setiap yurisdiksi untuk menerapkan pajak minimum domestik atau QDMTT guna menjaga basis penerimaan pajak.
Dengan QDMTT, penghasilan yang kurang dipajaki akibat adanya insentif dapat langsung dipajaki sebelum negara lain mengenakan top-up tax atas penghasilan tersebut. (rig)