ANALISIS PAJAK

Mencermati Insentif Pajak Principal Hub Malaysia

Redaksi DDTCNews
Jumat, 18 Oktober 2019 | 15.45 WIB
ddtc-loaderMencermati Insentif Pajak Principal Hub Malaysia
DDTC Fiscal Research.

KOMPETISI pajak antarnegara untuk memperebutkan modal terus berlangsung. Wujud kompetisi tersebut tidak melulu soal tarif umum, tapi ada desain tertentu yang secara khusus menyasar investasi dengan kriteria dan jangka waktu tertentu (UN, 2018). Dengan cara demikian, potensi penerimaan pajak yang “dikorbankan” lebih efisien dan tepat sasaran (Jun, 2017).

Langkah terbaru dilakukan pemerintah Malaysia yang baru saja mengumumkan skema insentif principal hub (PH) yang baru. Skema ini menggantikan yang sebelumnya telah diperkenalkan sejak 2015. Direncanakan mulai efektif pada tahun 2020, insentif ini ditujukan bagi perusahaan yang menjadikan Malaysia sebagai basis untuk menjalankan bisnis regional maupun global.

Insentif PH 2.0

KETIMBANG menurunkan tarif bagi seluruh wajib pajak badan, pemerintah Malaysia menyasar perusahaan dengan kriteria principal hub. Fungsi utama yang termasuk dalam kegiatan principal hub meliputi manajemen risiko, pengambilan keputusan, kegiatan bisnis strategis, perdagangan, keuangan, manajemen, dan sumber daya manusia.

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menikmati insentif yang dikenal sebagai PH 2.0 ini cukup ketat. Kriteria perusahaan sebagai principal hub dibagi menjadi tiga macam. Pertama, perusahaan baru. Perusahaan kategori ini dapat menikmati antara dua tingkat tarif pajak, yaitu 0% (tingkat 1) dan 5% (tingkat 2). Periode penerimaan insentif ini berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang hingga 10 tahun.

Adapun tingkat tarif beserta periode penerimaan insentif bergantung pada tingkat komitmen perusahaan. Tingkat komitmen tersebut diukur dengan beberapa indikator, seperti menyediakan 50 pekerjaan bernilai tinggi untuk tingkat 1 dan 30 pekerja untuk tingkat 2 dengan gaji bulanan setidaknya senilai RM5.000.

Pekerjaan bernilai tinggi itu termasuk lima posisi kunci untuk tingkat 1 dan empat posisi kunci untuk tingkat 2 dengan gaji bulanan senilai RM25.000. Adapun 50% dari pekerja bernilai tinggi tersebut harus merupakan warga Malaysia. Perusahaan dapat memperoleh perpanjangan periode insentif jika mampu menyediakan 20% lebih tinggi dari yang sudah dipersyaratkan.

Kemudian, principal hub tersebut juga wajib mengeluarkan biaya operasional tahunan minimal senilai RM5 juta. Lebih lanjut, wajib pajak tersebut harus memiliki minimal 10 perusahaan jaringan, menggunakan layanan dari Lembaga keuangan lokal, dan menghasilkan penjualan tahunan minimal senilai RM500 juta.

Kedua, perusahaan yang sudah ada (existing companies) dan disetujui sebagai Operational Headquarters (OHQ), International Procurement Centre/Regional Distribution Centre (IPC)/(RDC). Perusahaan dalam kategori ini dapat menikmati tarif pajak sebesar 10%.

Adapun sebagian besar persayaratan yang harus dipenuhi serupa dengan perusahaan kategori pertama, yaitu terkait jumlah pekerjaan bernilai tinggi, batasan minimum omset penjualan dan pengeluaran operasional tahunan, memiliki 10 perusahaan jaringan, dan menggunakan layanan lembaga keuangan lokal.

Ketiga, perusahaan manufaktur atau layanan jasa yang sudah berdiri di Malaysia. Persayaratan agar perusahaan kategori ini dapat memperoleh tarif khusus 10% sama dengan perusahaan kategori kedua. Namun, jumlah karyawan lokal yang mendapat program latihan terstruktur harus mencapai 20% dari total pekerja.

Respons Indonesia

BAGAIMANA Indonesia perlu menyikapi kebijakan Malaysia tersebut? Dalam kompetisi pajak, Dietsch (2015) tidak menyarankan suatu negara mengambil suatu langkah second move sebagai bentuk respons langsung keputusan negara lain. Biasanya, negara tersebut tidak akan secara optimal memperoleh efek limpahan.

Perumusan insentif pajak perlu diletakkan dalam perspektif besar rencana pemerintah dalam mendorong investasi di suatu sektor. Dengan kata lain, insentif pajak tidak boleh berdiri sendiri, tetapi harus bersinergi dengan insentif nonpajak lainnya. Sebagaimana diungkapkan Gugl dan Zodrow (2004), insentif pajak lebih berpengaruh ketika terdapat kemudahan administrasi dalam melakukan investasi.

Terlebih, saat ini Indonesia sudah memiliki laporan belanja perpajakan (tax expenditure) yang dilaporkan secara rutin setiap tahun. Ada baiknya racikan insentif masa mendatang dilakukan berdasarkan evaluasi belanja perpajakan yang timbul dari berbagai insentif yang sudah ada (Darussalam dan Kristiaji, 2014).

Selain itu, untuk menarik investasi, aspek administrasi juga turut menentukan (OECD, 2007). Aspek tersebut mencerminkan tingkat kepastian, kepercayaan, dan kemudahan bagi pelaku bisnis dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.