Ilustrasi. (foto:Â arabianbusiness.com)
MUSKAT, DDTCNews – Parlemen Oman mengusulkan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) ditunda hingga setelah Januari 2022.
Usulan tersebut merupakan hasil perumusan dari dua kamar parlemen di Oman, yakni Majlis Shura dan Majlis Daulah. Usulan tersebut diajukan kepada Sultan Haitham Bin Tariq Al-Said.
"Oman akan menjadi negara keempat dari enam negara Gulf Cooperation Council (GCC) yang mengenakan PPN setelah disepakatinya perjanjian antara enam negara pada 2016 lalu," tulis Avalara dalam pemberitaannya, dikutip pada Senin (7/9/2020).
Seperti diketahui, langkah pengenaan PPN yang hendak diterapkan oleh Oman dan lima negara tetangganya merupakan respons atas turunnya harga minyak mentah. Negara-negara ini membutuhkan sumber penerimaan baru untuk mengamankan penerimaan negara.
Keenam negara telah bersepakat untuk mengenakan tarif PPN sebesar 5%. Meski demikian, Arab Saudi telah meningkatkan tarif PPN dari 5% menjadi 15% pada Juli 2020. Uni Emirat Arab dan Bahrain masih tetap mengenakan tarif PPN sebesar 5% sesuai dengan perjanjian.
Akibat terus turunnya harga minyak, Oman tidak bisa lagi mengandalkannya sebagai sumber utama penerimaan negara. Alhasil, rasio utang Oman tercatat terus meningkat dan mencapai lebih dari 60% dari produk domestik bruto (PDB).
Sebelumnya, pengenaan PPN di Oman diperkirakan mulai berlaku pada Januari, April, atau Juli 2021. Jeda waktu tersebut rencananya akan dimanfaatkan oleh otoritas pajak untuk menyiapkan intrastruktur teknologi informasi, memformulasi kebijakan PPN, dan melakukan pelatihan atas 300 hingga 400 petugas pajak baru yang direkrut untuk kebijakan ini.
Penerimaan PPN di Oman diperkirakan mampu mencapai US$800 juta. Meski memiliki potensi yang sangat tinggi, Majlis Shura sebelumnya menyarankan pengenaan PPN sebaiknya berlaku ketika ekonomi Oman mampu tumbuh hingga 3% pascapandemi Covid-19.
Majlis Shura juga telah mewanti-wanti agar pengenaan PPN tidak membebani daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. (kaw)