SEJAK munculnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016, perusahaan yang memiliki transaksi afiliasi diwajibkan melakukan penyusunan dan penyimpanan dokumen penentuan harga transfer yang meliputi dokumen induk, dokumen lokal, dan laporan per negara (TP Doc).
Dokumen-dokumen tersebut bertujuan untuk memberikan informasi serta menguji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi afiliasi yang dilakukan oleh wajib pajak pada periode tertentu.
Dalam penerapannya, pendokumentasian transaksi afiliasi umumnya dilakukan setelah keseluruhan transaksi dalam satu tahun pajak selesai dilakukan (ex-post analysis). Pendokumentasian yang melibatkan pengujian kewajaran transaksi tersebut dilakukan dengan menggunakan data transaksi yang sudah terjadi, seperti laporan audit perusahaan dan data keuangan lainnya.
Padahal, penerapan TP Doc dengan pendekatan ex-post analysis tersebut dapat menimbulkan risiko yang lebih besar atas timbulnya deviasi antara ekspektasi, yang tercermin dari harga transfer yang telah ditentukan, dengan kondisi aktual yang terjadi, yang tercermin dari harga atau laba dari perusahaan independen.
Kondisi ini dapat memicu dilakukannya koreksi fiskal oleh otoritas pajak terhadap penghasilan neto wajib pajak. Satu hal yang perlu untuk digarisbawahi, secara rasional, perusahaan independen memiliki kecenderungan untuk melakukan penyesuaian perilaku dan kebijakan perusahaan sesuai dengan kondisi pasar terbuka.
Demi meminimalkan risiko tersebut, OECD melalui OECD Transfer Pricing Guidelines 2017 (OECD TPG 2017) memberikan alternatif pengujian yang dapat diterapkan oleh wajib pajak. Pendekatan alternatif ini memberikan kepastian atas kewajaran suatu transaksi afiliasi dengan menentukan terlebih dahulu syarat dan ketentuan serta harga yang wajar sebelum transaksi tersebut disepakati. OECD menyebut pendekatan ini dengan istilah ‘Contemporaneous Documentation’.
Contemporaneous Documentation didefinisikan sebagai proses penentuan harga transfer melalui penerapan prinsip kewajaran berdasarkan informasi yang tersedia pada saat transaksi terjadi (OECD, 2017). Dengan kata lain, perilaku dan keputusan wajib pajak didasari oleh informasi atas pasar terbuka yang tersedia sebelum hingga pada saat transaksi dengan pihak afiliasi dilakukan.
Lalu, bagaimana menentukan kewajaran perilaku dan keputusan bisnis yang akan digunakan? Untuk menjawab hal tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu peran dan karakter bisnis dari masing-masing pihak. Peran dan karakter bisnis yang dimaksud adalah terkait dengan fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, serta risiko yang ditanggung oleh masing-masing pihak.
Setelah hal-hal tersebut jelas, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menentukan harga yang wajar melalui analisis pengujian harga/laba wajar. Analisis ini dilakukan dengan mengumpulkan informasi harga/laba yang digunakan oleh pihak independen dalam kondisi, periode, dan jenis transaksi yang sama (contemporaneous uncontrolled transactions) dengan transaksi afiliasi yang akan dilakukan wajib pajak.
Menggunakan informasi tersebut sebagai dasar dalam menentukan syarat, ketentuan, dan harga suatu transaksi afiliasi, akan menghasilkan nilai yang dapat dianggap wajar dalam transaksi afiliasi (OECD, 2017).
Meskipun demikian, pendekatan ini membutuhkan penyesuaian secara terus menerus mengingat harga atas suatu barang dan/atau jasa yang digunakan sebagai acuan dapat berubah. Faktor eksternal seperti inflasi, tinggi rendahnya tingkat permintaan dan persediaan, persaingan industri, nilai tukar, dan kondisi makro dapat memengaruhi fluktuasi harga barang dan/atau jasa.
Oleh karena itu, wajib pajak perlu melakukan peninjauan selama beberapa periode tertentu untuk memastikan apakah harga/laba yang telah ditentukan sebelumnya masih wajar. Apabila tingkat kewajaran harga/laba atas transaksi tersebut bergeser maka harga/laba yang digunakan dalam transaksi afiliasi juga perlu disesuaikan mengikuti harga/laba atas transaksi yang dilakukan dengan atau antarpihak independen (Green, 2008).
Melalui pendekatan ini, wajib pajak diharuskan untuk memperhatikan analisis transfer pricing dalam penentuan anggaran perusahaan pada periode tertentu. Henshall (2013) menyebutkan bahwa implementasi manajemen risiko transfer pricing seharusnya menjadi titik awal bagi suatu perusahaan dalam menyusun anggaran perusahaan di awal tahun. Melibatkan analisis transfer pricing dalam penyusunan anggaran dapat meminimalkan risiko melencengnya syarat, ketentuan, dan harga/laba dari prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Selain itu, peninjauan terkait kewajaran atas syarat, ketentuan, dan harga/laba yang ditentukan di awal tahun tersebut juga dilakukan bersamaan dengan evaluasi kinerja perusahaan. Umumnya, evaluasi kinerja tersebut dilakukan dengan membandingkan kinerja aktual sampai periode tertentu dengan perhitungan anggaran yang dilakukan di awal.
Jika ditemukan perbedaan antara perhitungan anggaran dengan kinerja aktual, terutama dari sisi harga/laba, perbedaan tersebut perlu dievaluasi penyebabnya dan dilakukan penyesuaian agar dapat mengikuti prinsip kewajaran.
Selanjutnya, semua penyesuaian, baik atas harga, struktur biaya maupun margin, yang diimplementasikan perlu didokumentasikan secara terperinci dan seksama. Langkah ini penting dilakukan demi mengantisipasi apabila pihak otoritas sewaktu-waktu menanyakan dasar, alasan, atau latar belakang penyesuaian tersebut. Melalui pendekatan ini, diharapkan risiko koreksi fiskal yang ditanggung oleh wajib pajak dapat diminimalkan dan penerapan praktik transfer pricing yang fair dapat terwujud. (Admar Jamal Junior)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.