ANALISIS PAJAK

Meninjau PPnBM atas Kendaraaan Bermotor

Jumat, 11 Oktober 2019 | 14:15 WIB
Meninjau PPnBM atas Kendaraaan Bermotor

Ganesha Al Hakim Kuncoro,
DDTC Consulting

PERUBAHAN skema pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas kendaraan bermotor menjadi perbincangan masyarakat baru-baru ini. Di sisi lain, dirilisnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang kendaraan listrik tersebut menunjukkan perhatian pemerintah untuk mengalihkan penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik yang ramah lingkungan.

Peraturan itu merupakan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kualitas udara yang bersih dan ramah lingkungan serta menurunkan emisi gas rumah kaca akibat hasil pembuangan gas kendaraan bermotor. Berbagai insentif pun dikucurkan guna mendorong percepatan investasi dan produksi dalam negeri atas kendaraan listrik ramah lingkungan tersebut, baik di sektor fiskal maupun nonfiskal.

Banyaknya insentif yang dicanangkan permerintah mengakibatkan kendaraan listrik diprediksi menjadi primadona sarana transportasi masa kini. Selain karena ramah lingkungan, harga yang ditawarkan juga menjadi semakin terjangkau. Lantas, bagaimana nasib kendaraan bermotor yang sampai saat ini masih berbahan bakar fosil atau beremisi dilihat dari konteks pemajakan PPnBM?

Skema Baru
SEPERTI diketahui, pengenaan PPnBM atas kendaraan bermotor diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 33/PMK.010/2017. Pengenaan tarif PPnBM diklasifikasikan pada jenis kendaraan, jumlah pengangkutan penumpang, dan jumlah kapasitas mesin.

Setidaknya, terdapat 7 (tujuh) tarif yang berlaku, di antaranya adalah 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, dan 125%. Tarif tersebut bergantung pada jenis kendaraan, jumlah pengangkutan penumpang, dan kapasitas ukuran mesin kendaraan (CC).

Pemerintah berencana mengubah skema pengenaan PPnBM atas kendaraan bermotor yang tak lagi berdasarkan kapasitas mesin tetapi berdasarkan emisi gas yang dihasilkan kendaraan bermotor. Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana skema perubahan PPnBM tersebut?

Sebagaimana dilansir DDTCNews, pada 12 Maret 2019, skema baru pengenaan PPnBM atas kendaraan bermotor rencananya akan disederhanakan menjadi dua kelompok kapasitas mesin, yakni di bawah 3.000 cc dan di atas 3.000 cc.

Selain itu, pengenaan PPnBM atas kendaraan bermotor tidak lagi berdasarkan jenis kendaraan sedan dan nonsedan. Pengaturan tarif akan didasarkan pada tingkat emisi kendaraan. Makin tinggi tingkat emisi yang dihasilkan kendaraan, makin tinggi pula tarif yang dikenakan.

Aturan ini menjadikan kendaraan bermotor yang masih berbahan bakar fosil atau beremisi tak lagi murah. Upaya tersebut merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan penggunaan kendaraan bermotor beremisi agar beralih kepada penggunaan kendaraan bermotor yang lebih ramah lingkungan. Namun, apakah skema baru tersebut masih relevan?

Ditinjau dari upaya pemerintah untuk menekan penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil, cukai adalah instrumen yang menurut penulis lebih tepat. Adapun beberapa alasan instrumen cukai lebih tepat untuk memajaki kendaraan bermotor beremisi antara lain:

Pertama, adanya kesesuaian ciri dan karakteristik kendaraan bermotor sebagai objek pungutan dalam UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM dan UU Cukai. Kedua, keleluasaan penetapan tarif dan klasifikasi. Secara perbandingan, tarif PPnBM dapat mencapai 200% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sedangkan tarif cukai dapat mencapai 1.150% dari harga dasar untuk tarif produk nontembakau.

Ketiga, terkait eksternalitas negatif. Senada dengan Hutasoit dan Rosdiana (2014) yang menyatakan dengan mempertimbangkan karakteristik selectivity in coverage dan dampak negatif yang dihasilkan dari penggunaannya, kendaraan bermotor layak dimasukkan sebagai barang kena cukai.

Keempat, pengenaan cukai atas kendaraan bermotor berkaitan dengan harmonisasi regulasi dalam ASEAN Economic Community. Kelima, berdasarkan pertimbangan empiris, cukai kendaraan sebagai pajak lingkungan akan lebih efektif meningkatkan kesadaran konsumen akan dampak negatif konsumsi kendaraan bermotor (Brockwell, 2014).

Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang tidak mengenakan cukai atas kendaraan bermotor. Dengan berbagai pertimbangan itu, cukai kendaraan bermotor merupakan instrumen yang lebih tepat untuk memajaki kendaraan bermotor berbahan bakar fosil.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

30 Oktober 2019 | 14:36 WIB

Mekanisme cukai memang lebih tepat daripada PPnBM untuk kasus ini. Kebijakan yang lebih berpihak kepada teknologi ramah lingkungan memang baik. Cuma tetap harus dihitung dulu berapa cost (negative externality) dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil dan apakah sudah sebanding dengan insentif (tax expenditure) yang diberikan kepada kendaraan listrik? Jangan sampai tax expenditure nya lebih besar dari cost yang dihemat. Lalu saya tidak mengerti urgensi dari pembedaan tarif berdasarkan kapasitas mesin diatas dan dibawah 3000cc. Kemudian juga yang saya belum paham, apakah kendaraan listrik sungguh ramah lingkungan? Bukankah untuk menghasilkan listrik juga masih menggunakan bahan bakar fosil? Sudahkah dibuat kajian yang komprehensif?

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

Selasa, 20 Februari 2024 | 11:50 WIB ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

Kamis, 25 Januari 2024 | 09:15 WIB ANALISIS PAJAK

Mendesain Pemeriksaan Pajak Berbasis Teknologi dan Risiko Kepatuhan

BERITA PILIHAN